Ketua MPR Saja Akui Intoleransi Masih Jadi Perkara Besar Negeri Ini
Bambang Soesatyo di acara Setara Institute (Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut keberadaan kelompok intoleran di Indonesia bukan isapan jempol semata. Hal ini dia sampaikan, setelah mendengarkan pemaparan dari SETARA Institute terkait kondisi kebebasan berkeyakinan atau beragama di Indonesia saat ini.

Menurut dia, bukan tak mungkin kelompok intoleran yang mengganggu kebebasan berkeyakinan di Indonesia juga membawa paham radikalisme. Tindakan intoleran tersebut, dianggap Bamsoet juga bisa mengancam kemajemukan yang ada di Indonesia.

"Hari ini bukan hanya kemajemukan kita yang terancam, tapi juga ancaman ideologis terhadap negara Pancasila menjadi nyata adanya," kata Bamsoet dalam acara Seminar bertajuk 'Merawat Kemajemukan, Memperkuat Negara Pancasila' di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin, 11 November 2019.

Politikus Partai Golkar ini mengatakan, maraknya aksi intoleransi di Indonesia disebabkan karena ketidakmampuan dan ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima perbedaan. Hal inilah yang lantas menyebabkan gejolak yang berbahaya bagi persatuan dan kesatuan.

Selain bicara soal intoleransi, Bamsoet juga menyinggung adanya fenomena Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terpapar radikalisme dalam beragama. "Jumlah ASN yang terpapar radikalisme sangat mengkhawatirkan," ungkapnya.

"Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mensinyalir ASN yang proradikalisme, atau bersikap anti Pancasila jumlahnya lebih dari 10 persen," tambah Bamsoet.

Selain ASN, dia juga menyebut adanya pemanfaatan TNI dan Polri untuk menyebarkan paham radikalisme. Sebab sejauh ini, dia menyebut ada empat persen anggota TNI dan Polri yang turut terpapar paham radikal.

Bamsoet kemudian mengatakan, ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari mereka yang terpapar paham radikal. Selain bersikap intoleran dan tak mau menghargai pendapat serta keyakinan, dia bilang, orang yang terpapar radikalisme biasanya menganggap orang lain salah dan merasa yang paling benar.

"Ciri ketiga adalah ekslusif membedakan diri dari umat Islam umumnya dan keempat cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan," tegasnya.

Sehingga, sebagai salah satu pemimpin lembaga parlemen di Senayan, Bamsoet mengatakan MPR RI secara terus menerus akan mensosialisasikan nilai pancasila.

Tak hanya itu, pihaknya juga akan terus meminta masyarakat untuk menjaga toleransi di tengah kehidupan mereka. Selain itu, Bamsoet juga menyinggung akan mengembalikan lagi kurikulum pelajaran dengan menitikberatkan nilai pancasila.

"Kita sedang mendorong pemerintah untuk menumbuhkan kembali kurikulum mata pelajaran nilai pancasila dari berbagai tingkatan, baik SD, SMP, SMA, bahkan di tingkat kuliah," jelasnya.

Tugas pemerintah

Direktur Riset SETARA Institute, Halili menegaskan isu intoleransi di Indonesia harusnya menjadi persoalan serius bagi pemerintah dan harus ditangani secara komperhensif.

Dia menilai, harus ada tindakan dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Apalagi 12 tahun belakangan, angka pelanggaran kebebasan berkeyakinan di Indonesia mencapai 2.400 peristiwa dengan 3.177 tindakan.

Adapun tindakan yang harus diambil adalah pemerintah harus merancang, mengagendakan, dan melakukan optimalisasi institusi pendidikan dengan membangun sistem pendidikan yang berbhineka, terbuka, toleran, serta berorientasi pada Pancasila dan UUD 1945.

"Kedua, pemerintah harus memposisikan aparatnya khususnya kepolisian dan pemerintah lokal sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, dan pembelaan dasar," ungkap Halili.

Selain dua hal itu, SETARA menilai pemerintah harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta mengoptimalkan edukasi serta sosialisasi dan literasi terkait toleransi untuk mencegah diskriminasi.

"Kelima, pemerintah memperkuat dan mengintensifkan inisiatif dan pelaksanaan dialog yang setara antar kelompok serta keyakinan," tutupnya.