Sebanyak 35 Persen Pekerja Informal Tak Punya Jaminan Kesehatan
Ilustrasi Pekerja Informal. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan menyebutkan, 35 persen kepala rumah tangga (RT) yang bekerja di sektor informal tidak memiliki jaminan kesehatan. Riset itu dipublikasikan LIPI pada Jumat 20 Desember.

"Mereka tidak memilikinya," kata Peneliti Senior LIPI Dewi Harfina seraya mengatakan data tersebut diperoleh setelah melakukan penelitian terhadap 1.800 kepala rumah tangga yang tersebar di 6 provinsi.

Ia menyebutkan gambaran umum bahwa pekerja sektor informal adalah penduduk yang bekerja di sektor informal dan pekerja sektor informal yang disurvei LIPI adalah mereka yang bekerja di berbagai bidang pekerjaan di sektor informal yang secara hukum memiliki hubungan kerja cukup jelas dan penghasilannya tidak dipotong pajak.

"Mereka juga adalah kelompok masyarakat yang menginginkan perlindungan sosial," katanya.

Saat memilah berdasarkan dari sisi perekonomiannya, LIPI menemukan dua persen dari mereka berada dalam kondisi di bawah garis kemiskinan dan delapan persen rentan miskin. Sementara 25 persen lainnya dalam kondisi tidak miskin.

Namun, meski dalam kondisi tidak miskin, masih banyak di antara mereka itu tidak memiliki jaminan kesehatan. Sementara itu, berdasarkan cakupan kepesertaan JKN di enam provinsi yang disurvei, ternyata setiap daerah tersebut memiliki cakupan kepesertaan yang berbeda-beda.

"Namun secara umum dapat kami simpulkan bahwa umumnya kepesertaan itu berada di wilayah perkotaan.

Wilayah perkotaan cenderung memiliki cakupan kepesertaan yang lebih besar dibandingkan di pedesaan, yaitu sekitar 84,1 persen. Kemudian, berdasarkan ketentuan bahwa setiap kepala rumah tangga wajib mendaftarkan anggota rumah tangganya, penelitian LIPI menemukan bahwa ternyata 25 persen kepala rumah tangga pekerja sektor informal, mereka sudah terdaftar di JKN tetapi masih ada anggota rumah tangga mereka yang belum menjadi peserta.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Jogaswara mengatakan bahwa sektor informal menopang penyerapan tenaga kerja. Menurut survei angkatan kerja nasional pada 2018 sekitar 57 persen penduduk Indonesia melakukan aktivitas ekonomi di sektor informal.

Dengan posisi yang lemah secara legalitas serta tingkat produktivitas dan upah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pekerja sektor formal, warga yang bekerja di sektor informal termasuk dalam kategori kelompok rentan. Mereka juga termasuk dalam golongan warga yang kesulitan mengakses jaminan sosial.

Herry menyebut minimnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat jaminan sosial sebagai salah satu penyebab rendahnya keikutsertaan pelaku aktivitas ekonomi informal dalam program jaminan sosial pemerintah.

Hasil penelitian Pusat Penelitian Kependudukan LIPI mengenai permasalahan jaminan sosial di Sumatera Utara, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa tingkat keikutsertaan pekerja sektor informal dalam program perlindungan sosial negara belum optimal.

"Artinya ada sesuatu tanda tanya besar kenapa mereka tidak menjadi bagian untuk melindungi dirinya sendiri," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti.

Pekerja informal umumnya tidak menjadi bagian dari program perlindungan sosial pemerintah, baik yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, karena tidak memiliki informasi cukup mengenai program jaminan sosial.

Menurut hasil penelitian LIPI, pengetahuan warga perdesaan tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih sangat rendah sehingga pemanfaatan JKN di kalangan pekerja sektor informalnya juga rendah.

"Padahal kita semua tahu ketika kita lihat di media bahwa upaya diseminasi, sosialisasi dari kedua BPJS ini sudah sangat luar biasa," kata Tri.

Herry mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan strategi kebijakan yang menyeluruh untuk mengatasi masalah jaminan sosial di sektor informal karena kelompok informal memiliki tingkat segmentasi tinggi dan kerentanan yang berbeda-beda.