JAKARTA - Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan pasca pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 menjadi catatan kelam bagi persepakbolaan Indonesia. Data Dinas Kesehatan Malang menyebut 131 orang meninggal dunia, ratusan lainnya menderita luka.
Menko Polhukam Mahfud MD telah membentuk tim independen gabungan pencari fakta untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Banyak pertanyaan yang masih mengganjal terutama terkait awal mula bentrokan antara suporter dan aparat kemanan, penggunaan gas air mata, tertutupnya akses keluar di salah satu pintu, hingga mekanisme penanganan massa secara keseluruhan.
Aremania Kota Batu Dadang Indarto pun membantah bila aksi turun ke lapangan sebagai tindakan anarkis. Awalnya, hanya untuk memberikan semangat dan meminta foto. Bukan untuk menyerang pemain dan ofisial Arema FC.
"Teman-teman turun hanya menyalami dan tidak melukai, tidak ada perlawanan sama sekali, tidak ada perlawanan," ucap Dadang saat memberikan keterangan terbuka bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Kota Malang, Senin (3/10).
Justru, aparat keamanan yang langsung menyerang dengan pentungan dan beberapa petugas menembakkan gas air mata. Ini yang membuat para suporter emosional. Sejumlah suporter kembali ke lapangan untuk menyelamatkan diri karena beberapa pintu keluar dalam keadaan tertutup dan penuh orang yang panik.
"Seharusnya cukup anjing-anjing dilepaskan bubar," tuturnya.
Yoga Kumud, Aremania Kampus UIN Malang juga merasa heran dengan sikap aparat keamanan. Terlebih, ketika para suporter turun ke lapangan, para pemain Persebaya juga sudah masuk ke ruang ganti.
"Kenapa dianggap anarkis? Hanya memeluk, menyemangati, tidak menyerang pemain. Malah ditembak gas airmata. Penonton panik berdesakan ke pintu," ucapnya.
Sosiolog Universitas Indonesia Ricardi S Adnan pun menyesalkan tindakan represif aparat keamanan. Bila berkaca dari pengalaman, kalau dihadapi dengan kekerasan, massa akan semakin beringas. Seperti api disiram bensin.
“Terlebih dengan menembakkan gas air mata ke arah tribun. Yang panik bukan hanya massa yang ada di lapangan, tetapi juga di tribun,” kata Ricardi kepada VOI, Minggu (3/10).
“Saya pikir ini masalah pengelolaan yang tidak cukup cermat. Dari sisi lain, aparaturnya juga ada sedikit unsur represif, ini terlepas dari teknik, metode, ataupun pengalaman aparatur di lapangan, saya tidak terlalu mengerti. Tapi, dari video-video yang beredar yang terkesan seperti itu, suasananya sudah represif,” Ricardi menambahkan.
Harus Diusut Tuntas
Penggunaan gas air mata di stadion sepak bola tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pada pasal 19 huruf b, tidak diperbolehkan mempergunakan senjata api atau gas pengendali massa.
Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso meminta agar tragedi di Stadion Kanjuruhan diusut tuntas. Kapolri harus bertindak tegas. Perintahkan Kapolda Jawa Timur untuk mempidanakan panitia penyelenggara pertandingan.
“Jangan sampai pidana dari jatuhnya suporter di Indonesia menguap begitu saja seperti hilangnya nyawa dua bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada bulan Juni lalu,” katanya dalam keterangan tertulis Minggu (2/10).
Sugeng menambahkan, “Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (Iwan Bule) seharusnya malu dan mengundurkan diri dengan adanya peristiwa terburuk di sepak bola nasional.”
Aremania pun menuding ada ‘aktor’ yang memicu terjadinya insiden tersebut. Panitia pelaksana harus bertanggung jawab. Keberlangsungan pertandingan Arema FC vs Persebaya sepenuhnya ada di tangan panitia pelaksana.
"Harus ada yang bertanggung jawab. Siapapun itu namanya, Panpel atau siapa pun sampai terjadi insiden terbunuhnya Aremania," tegas salah satu perwakilan Aremania, Dersey saat aksi lilin keprihatinan di depan Stadion Gajayana, Minggu (2/10).
“Karena jelas-jelas itu nyata, bahwa apa yang menjadi statuta FIFA setiap pertandingan di seluruh dunia tidak boleh menggunakan gas air mata. Kenapa itu terjadi di Kanjuruhan yang mengakibatkan terbunuhnya ratusan orang suporter Aremania?”
Terkait itu, Ombudsman memandang ada potensi maladministrasi. Dalam Regulasi Keselamatan dan Keamanan (RKK) PSSI 2021 Pasal 1 huruf 2 sudah tertera jelas mekanisme penyelenggaraan dan penanganan suatu pertandingan.
RKK memastikan keselamatan dan keamanan di dalam dan sekitar stadion, baik sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan pertandingan atau kompetisi. RKK juga mengatur tentang upaya pencegahan atau mitigasi atas potensi terjadinya kerusuhan yang menimbulkan jatuh korban.
PSSI mendelegasikan pelaksanaan pertandingan atau kompetisi kepada panitia pelaksana (Panpel/dari Arema), operator pertandingan (PT Liga Indonesia Baru/LIB), dan kepolisian. Tiga lembaga ini berkolaborasi untuk menjamin keamanan dan keselamatan pertandingan atau kompetisi.
“Panpel bertugas menyelenggarakan pertandingan. PT LIB mengelola kompetisi dan turnamen sepak bola profesional. Sedang kepolisian memberikan layanan pengamanan,” tulis Ombudsman dalam siaran pers di situs resminya, Minggu (2/10).
Berdasarkan pemberitaan media dan hasil telaah sementara, beberapa permasalahan yang dapat menjadi langkah awal pemeriksaan dugaan maladministrasi antara lain jumlah penonton yang melebihi batas rekomendasi.
Lalu, keberadaan layanan kedaruratan dan memastikan identitas penonton yang seharusnya disiapkan Panpel, serta mekanisme pengendalian massa oleh Kepolisian.
Namun Media Officer Arema FC, Sudarmaji membantah bila terjadi kelebihan kapasitas penonton. Panitia mengatakan hanya menjual 42 ribu lembar tiket dalam pertandingan tersebut. Sementara, kapasitas maksimal Stadion Kanjuhuran adalah 45 ribu orang.
"Kalau toh ada kelebihan kuota, tentu akan terjadi luberan penonton. Jadi kita bicara fakta di lapangan bahwa tidak ada luberan penonton," katanya, Senin (3/10).
Janji Kapolri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan mendalami penerapan prosedur tetap penggunaan gas air mata dalam insiden di Stadion Kanjuruhan. Proses investigasi akan dilakukan mulai dari pihak penyelenggara, pengamanan, dan seluruh pihak terkait.
"Semuanya akan kita dalami, ini menjadi satu bagian yang akan kita investigasi secara tuntas baik dari penyelenggara, pengamanan, dan pihak-pihak yang memang perlu kita lakukan pemeriksaan," ujarnya.
Untuk tahap awal, tim Disaster Victim Investigation (DVI) Mabes Polri sudah bekerja memastikan data identitas korban meninggal dunia. Tim DVI akan melakukan pendalaman dan melakukan investigasi secara tuntas.
"Langkah-langkah saat ini sedang kita kumpulkan data-data di TKP, CCTV untuk mengetahui secara lengkap dan tentunya perkembangan akan secara jelas," katanya.
Sejauh ini, Kapolri sudah mencopot jabatan AKBP Ferli Hidayat sebagai Kapolres Malang. Posisi Ferli digantikan oleh AKBP Putu Kholis yang sebelumnya menjabat Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok. Ferli dimutasikan sebagai Pamen SDM Polri.
“Kapolda Jatim juga telah menonaktifkan 9 anggota Brimob Polda Jawa Timur. Semuanya dalam proses pemeriksaan oleh tim malam ini,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dalam konferensi pers, Senin (3/10).
Selain itu, inspektorat khusus juga memeriksa 28 anggota atas dugaan pelanggaran kode etik dalam insiden di Stadion Kanjuruhan.
“Ini masih dalam proses pemeriksaan,” katanya.
Berikut catatan dari insiden di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022:
- PT Panitia pelaksana dan panitia pelaksana mengabaikan surat rekomendasi dari Polres Malang terkait perubahan jadwal pertandingan. Padahal, surat sudah disertai alasan kenapa jadwal pertandingan harus diubah.
- Penggunaan gas airmata untuk meredam aksi massa yang menyalahi aturan FIFA hingga menimbulkan kepanikan yang berakibat penumpukan di akses pintu keluar.
- Akses pintu keluar di tribun 11 dan 12 yang terkunci seperti kesaksian para penonton.
- Menyerang aparat keamanan dengan flare dan berbagai benda lain.