Ade Armando: Kewajiban Umat Islam Tegakan Syariat Berbahaya Bagi Indonesia

JAKARTA - Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Ade Armando, menolak keras penegakan syariat Islam di Indonesia. Kewajiban menjalankan syariat justru berbahaya bagi Indonesia itu sendiri.

Pernyataan Ade ini merujuk pada kelompok-kelompok yang saat ini getol berjuang bagi penegakan syariat Islam, termasuk wilayah yang menggunakan pedoman hukum berdasarkan syariat Islam.

"Tentu saja bisa sangat dikritik dipersoalkan dan disanggah. Anda bisa saja tidak setuju dengan saya tapi saya juga bisa tidak setuju dengan anda dan adalah kewajiban saya menyampaikan pandangan bahwa kewajiban bagi umat Islam untuk menegakkan syariat Islam adalah sesuatu yang berbahaya bagi Indonesia," tegas Ade dikutip dari video yang diunggah di Youtube, CokroTV, Kamis, 28 Oktober

Dalam konteks sejarah, penegakan syariat Islam di Indonesia hampir berhasil dengan memasukan 'Kewajiban untuk Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Hanya, ini ditolak oleh para founding fathers, termasuk Hatta.

Ade Armando berangkat dari defenisi syariat Islam yang saat ini dirujuk oleh kelompok-kelompok yang ingin menegakannya.

Menurutnya, syariat berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Selain berisi hukum dan aturan syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.

Para pendukung syariat percaya, bahwa syariat Islam merupakan panduan integral atau menyeluruh dan sempurna terhadap seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. mereka juga percaya kalau Allah dan rasulnya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain.

"Umat Islam hanya boleh menetapkan hukum sendiri kalau Allah dan Nabi Muhammad belum menetapkan ketentuannya tentang hal tersebut. Sumber bisa dari Al-Qur'an, ucapan dan teladan Nabi Muhammad serta kesepakatan para ulama otoritatif di generasi-generasi awal sejarah Islam,"

"Sebenarnya ada satu sumber lain yaitu ijtihad yakni upaya sungguh-sungguh manusia untuk memutuskan suatu perkara dengan menggunakan akal pikiran dan pertimbangan yang matang namun ijtihad itu hanya bisa digunakan terkait perkara yang belum diatur dalam Al-Qur'an dan hadis," tegas Ade.

Bagi mereka yang sungguh-sungguh percaya pada supremasi syariat sangat percaya bahwa umat Islam wajib menjalankan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Bagaiman kalau aturan itu ditegakan pada abad 21 ini? Menurut Ade Armando akan mendatangkan banyak masalah.

Sebab, Al-Qur'an dan hadis hanya bisa dipahami berdasarkan konteks sejarahnya. Dengan kata lain, aturan itu banyak sekali yang tidak relevan dengan kondisi kita saat ini. Misalnya, soal perbudakan.

Al-Qur'an menyatakan bahwa seorang pria tidak perlu menjaga kemaluannya pada budak perempuan dan ini kemudian diartikan sebagai izin bagi pria untuk meniduri budak perempuannya tanpa harus dalam ikatan pernikahan.

"Jadi apakah ini berarti pria dapat berhubungan tanpa menikah dengan budak perempuannya? Lebih lanjut lagi apakah ini berarti Allah mengizinkan seorang pria memiliki berat perempuan,?" tanya Ade.

Kalau membaca Al-Qur'an dan dijadikan rujukan maka jawabannya adalah iya dan iya. Tapi jawaban mungkin berubah bila konteks dalam ayat tersebut dipahami. Artinya, ayat tersebut hadir dalam sebuah episode dimana perbudakan memang hal lazim dan dibenarkan secara moral abad ke-7 di Arab. Perbudakan adalah hal wajar bagi mereka yang memenangkan perang.

Hany bagi Ade, bila Al-Qur'an dibaca secara keseluruhan pesannya adalah jelas menolak perbudakan. Sebab ada banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam untuk memerdekakan budak atau memperlakukan budak dengan cara manusiawi.

Kemudian secara eksplisit soal pencuri yang harus dipotong tangganya. Atau wanita yang ketahuan berzinah harus dihukum 100 kali cambuk. Termasuk ketentuan untuk tidak menjadikan kaum kafir sebagai teman-temanmu sebelum mereka berpindah pada jalan Allah.

"Saya ingin mengatakan memahami pesan Tuhan tidak bisa dengan sekedar manganggap apa yang terlarang dan diizinkan atau bahkan diperintahkan dalam Al-Qur'an dan diperintahkan nabi sebagai hukum yang harus dipatuhi sepanjang waktu dan sepanjang zaman. Aturan dan hukum itu bergantung pada konteks. Kalau konteks berubah aturan dan hukumnya pun berubah," terang Ade.