PR Besar untuk Pimpinan KPK Jilid V yang Bakal Dilantik
JAKARTA - Lima pimpinan KPK jilid V yang bakal dilantik pada Jumat, 20 Desember terus melaksanakan proses induksi atau perkenalan sejak Senin, 16 Desember. Proses ini wajib dilakukan sebagai langkah pengenalan lingkungan kerja bagi pimpinan baru di periode 2019-2023 tersebut.
Selain itu, dalam proses ini, pimpinan KPK pada periode sebelumnya tentu bakal membicarakan kasus-kasus yang mereka selesaikan walau saat ditanya terkait hal tersebut, beberapa pimpinan KPK baru mengaku belum ada pembicaraan mendalam soal kasus yang jadi tugas rumah.
Menurut Wakil Ketua KPK terpilih Nawawi Pamolango dalam kegiatan induksi tersebut, mereka hanya mendapatkan pembekalan dari pimpinan KPK terkait sistem kerja dalam penindakan dan pengetahuan soal pengawas internal. Belum ada pembahasan apapun soal kasus yang tengah ditangani oleh lembaga antirasuah tersebut.
"Enggak (ada pembahasan) kasus. Hanya diceritakan proses kerja mereka (penindakan dan pengawas internal)," kata Nawawi kepada wartawan usai melaksanakan kegiatan induksi tersebut di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember.
Sebagai orang yang sebelumnya berada di luar lingkup KPK, Nawawi yang tadinya seorang hakim mengatakan kinerja lembaga antirasuah sejauh ini sudah cukup baik. Tak hanya di bagian penindakan tapi juga dipencegahan. Hanya saja, untuk pencegahan, kata dia tak begitu banyak terekspose. Sehingga terkesan tak begitu banyak yang dikerjakan oleh KPK.
"Banyak juga yang pencegahan itu sudah begitu bagus dilaksanakan hanya tidak terekspose," ungkap wakil terpilih yang pernah mengatakan KPK bak orang pulang dugem karena indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tak signifikan.
Sebagai pimpinan KPK baru, dia sadar bakal ada pekerjaan rumah 'warisan' dari Agus Rahardjo cs kepada dia serta pimpinan KPK yang baru. Hanya saja, detail kasus itu memang belum dibicarakan pada mereka.
Kalaupun belum sempat dibicarakan, Nawawi bilang, detail kasus ini bakal mereka ketahui lewat memori serah terima yang bakal diterima pimpinan baru usai serah terima jabatan.
"Biasanya dalam memori serah terima itu akan terurai apa saja yang sudah mereka lakukan. Tapi, yang paling penting bagi kami apa yang belum mereka lakukan dan apa kendalanya," ujarnya.
Selain bicara soal kasus lama yang bakal jadi warisan bagi mereka, Nawawi juga angkat bicara soal kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang termaktub dalam Pasal 40 dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Hal ini dia sampaikan untuk menjawab permintaan Agus Rahardjo yang sempat mengatakan agar pimpinan KPK periode 2019-2023 tak gegabah mengeluarkan SP3 ketika mereka telah menjabat.
Nawawi bilang, walau ada kewenangan menerbitkan surat tersebut namun tak mudah untuk melakukan hal tersebut.
"Tentu dilatarbelakangi dengan kemarin misalnya ada yang meninggal karena tidak ada kewenangan itu tidak bisa diapa-apain orang gitu. Itu saja," kata dia sambil menambahkan penggunaan SP3 harus didasari pertimbangan hukum yang kuat, sehingga dia memastikan pimpinan KPK jilid V tak akan mengobral SP3.
PR Kasus Korupsi
Beberapa waktu yang lalu, Ketua KPK jilid IV Agus Rahardjo sebenarnya pernah menyampaikan kasus yang bakal diwariskan kepada pimpinan KPK baru. Menurut Agus, kasus ini sebenarnya sudah banyak perkembangan beberapa waktu belakangan ini. Hanya saja, waktu untuk melakukan pengusutan memang terbatas.
Menurut dia, salah satu kasus yang diwariskan pada pimpinan KPK periode 2019-2023 yang diketuai Firli Bahuri ini adalah kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kalau BLBI kan paling tidak kami merintis satu. Mudah-mudahan ada yang meneruskan," kata Agus kepada wartawan beberapa waktu lalu di Gedung Penunjang KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Agus menjelaskan, kasus besar seperti penerbitan SKL BLBI yang merugikan negara sebesar Rp3,7 triliun ini memang perlu waktu dalam proses pengusutannya. Sebab, penyelidikan dan penyidikan kasus ini lebih kompleks. Begitu juga dengan kasus korupsi yang pelakunya kelas kakap dan kerap dilakukan secara lintas negara.
Dia mengambil contoh kasus suap pengadaan mesin pesawat Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC serta pencucian uang yang menjerat eks Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan pengusaha Soetikno Soedarjo.
Diketahui, KPK butuh waktu selama hampir tiga tahun untuk menangani perkara ini sejak mereka menerbitkan surat perintah penyidikan atau Sprindik pada 16 Januari 2017. Agus menyebut, waktu yang panjang diperlukan KPK mengingat kasus tersebut berhubungan dengan banyak lembaga di lintas negara.
"Kita mau bawa (kasus) Garuda ke persidangan itu juga diperlukan waktu yang lama. Berhubungan dengan banyak lembaga lintas negara. Jadi masalahnya di situ," ungkapnya.