Menteri LHK: Analisis Karhutla Harus Objektif
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya tak mau masyarakat melihat masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hanya dari salah satu sisi. Siti menyebut, masalah harus dilihat secara objektif, mulai dari memahami definisi hotspots dan firespots, hingga kepada angka-angka peluang secara statistik dari hotspots menjadi firespots.
Dalam menerjemahkan data terkait Karhutla, Siti menyebut harus dilakukan dengan referensi lapangan yang tepat, bukan asal asumsi, apalagi hanya dengan gambar-gambar ilustrasi.
"Ini menjadi tidak adil bagi rakyat, termasuk juga bagi swasta, dan banyak pihak lainnya yang dalam 3 tahun terakhir sudah mau bekerja baik dan mau comply. Analisis Karhutla yang digunakan harus betul-betul adil, jangan framing," kata Siti dalam keterangan tertulis, Minggu, 28 Juni.
Sementara, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Afni Zulkifli menyebut, persoalan Karhutla masih menjadi ancaman di Indonesia. Bahkan, tantangannya semakin besar karena terjadi banyak kesalahan persepsi memahami Karhutla itu sendiri.
Afni menjelaskan, ancaman Karhutla akan semakin besar bila kesalahan persepsi di ruang publik ini terus dibiarkan. Kesalahan persepsi bisa mendelegitimasi kerja-kerja yang sudah baik dengan pengaburan informasi tanpa edukasi di tengah masyarakat.
"Ini juga akan sangat memengaruhi tindakan evaluasi, atau bahkan pengambilan kebijakan oleh para pemangku kepentingan," ucap Afni.
Baca juga:
Afni membeberkan sejumlah kesalahan persepsi terkait Karhutla. Pertama, soal memahami definisi pengendalian Karhutla. Kata dia, banyak pihak memahami pengendalian hanya sebatas pemadaman dan penegakan hukum saja.
Padahal, pengendalian Karhutla menurut Peraturan Menteri LHK 32/2016 merupakan konsep kerja dalam kesatuan utuh yang memuat enam elemen yaitu perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, dan kesiagaan.
Kesalahan persepsi yang berimbas pada membesarnya Karhutla di tahap perencanaan, dicontohkan saat kejadian kebakaran di awal tahun 2019 di Rupat, Riau. Ketika itu, titik api yang masih kecil tidak bisa langsung dipadamkan oleh petugas karena Pemda setempat beralasan belum ketok palu dan diakui tidak memiliki anggaran yang cukup untuk pencegahan.
"Api dan asap tidak bisa menunggu anggaran ketok palu. Bahkan ada juga temuan Pemda Tingkat II hanya pasrah menunggu satgas Provinsi atau satgas nasional turun. Jika gagal direncanakan dan dicegah dengan baik mulai dari tingkat tapak, api hampir pasti akan membesar dan makin sulit dipadamkan," ucap dia.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah pemahaman mengenai hotspots atau titik api. Afni mengungkapkan beberapa pihak yang menyatakan semua titik panas yang ditangkap satelit dianggap sebagai hotspots (titik api), dari confidence level 0-80 persen. Padahal, tidak semua hotspots adalah firespots (lokasi yang sudah terverifikasi kebakaran).
Sebagai contoh, data dari Walhi menyebutkan bahwa periode 1 Januari-20 Juni 2020, terdapat 44.093 titik panas di Indonesia. Ternyata dengan confident level 80 persen, hotspots pada periode yang sama terpantau hanya ada 870 titik.
Dengan membandingkan jumlah hotspots baseline tahun 2015, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA), jumlah hotspot sebanyak 70.971 titik. Artinya perbandingan hotspots 2015 dan 2020 per Juni, terdapat penurunan jumlah hotspots sebanyak 70.101 titik atau 98,77 persen.
"Ternyata, angkanya beda jauh, karena satelit itu memang menangkap citra dengan polos. Kalau dari confident level 0 persen jadi rujukan buat publish ke publik, jelas kurang tepat. Karena atap seng rumah orang juga sering ditangkap satelit sebagai hotspots. Jadi hotspots itu belum tentu ada kebakaran (firespots)," kata Afni.
Harusnya, kata Afni, yang jadi rujukan informasi ke publik itu hotspots pada confident level 80 persen ke atas. Itupun masih harus dilakukan pengecekan ke lapangan guna memastikan kebenaran hotspots berasal dari kebakaran.
"Harusnya yang seperti ini publik diedukasi, bukan terus diberikan data yang kurang tepat. Informasi yang kurang tepat akan melahirkan persepsi atau bahkan rekomendasi yang juga tidak tepat," sebut dia.
Kesalahan persepsi berikutnya adalah menganggap KLHK satu-satunya lembaga penegak hukum, kesalahan persepsi mengenai penetapan status dini kesiagaan, termasuk kesalahan persepsi memahami keragaman status hutan di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena ada bermacam-macam hutan dengan pemegang mandat administratif berbeda-beda.
"Mandat pengawasannya ada di lintas kementerian, Pemda ataupun Swasta. Sementara titik api tidak mengenal batasan administratif begini. Andai tidak terjadi kesalahan persepsi, maka rekomendasi untuk evaluasi dan strategi menghindari kebakaran berulang juga bisa dilakukan dengan tepat oleh para pemangku kepentingan, tutur Afni.