Pernah Ditolak, Gugatan Ambang Batas Parlemen Diajukan Lagi ke MK
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan uji materi ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary treshold) ke Mahlakah Konstitusi (MK). Ambang batas parlemen tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemulu.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menganggap, selama ini penentuan angka ambang batas parlemen dalam undang-undang pemilu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan, terbuka, dan sesuai dengan prinsp pemilu proporsional.
"Keberadaan ambang batas parlemen, dalam praktiknya, mengganggu prinsip adil dalam konversi suara ke kursi bagi partai politik selaku peserta pemilu dan juga bagi pemilih yang memberikan suaranya," kata Titi kepada VOI, Jumat, 26 Juni.
Namun, bukan berarti Perludem tidak setuju dengan adanya ambang batas parlemen. Ambang batas parlemen memang sebaiknya tetap ada. Namun, Perludem fokus menyoal besaran ambang batas yang dianggap tidak proporsional dan cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan besaran ini dianggap tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.
Pada Pemilu 2009, besaran ambang batas parlemen adalah 2,5 persen. Kemudian, pada Pemilu 2014, ambang batas dinaikkan menjadi 3,5 persen. Lalu naik lagi di Pemilu 2019 menjadi 4 persen. Pada Pemilu 2024 nanti, wacana kenaikan ambang batas parlemen digulirkan lagi. Namun, hal ini masih dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu.
"Untuk itu, dengan diajukannya uji materi ketentuan ambang batas parlemen ini ke Mahkamah Konstitusi harapannya dapat semakin mempertegas dan menjaga proporsionalitas pemilu di Indonesia kedepan," ungkapnya.
Baca juga:
Strategi agar tak ditolak lagi
Sebenarnya, parliementary treshold sudah beberapa kali diajukan ke MK. Salah satunya adalah Partai Garuda pada tahun 2018 lalu. Garuda, saat itu, menganggap ambang batas parlemen memberatkan partai-partai baru untuk bisa bersaing dalam kontestasi Pemilu 2019 sehingga bisa memiliki kursi di DPR RI.
Namun sayangnya, Hakim MK menilai ketentuan ambang batas parlemen tidak melanggar konstitusi. Sebab, setiap warga negara memang berhak membentuk parpol, namun tetap diperlukan proses seleksi dan pembatasan secara rasional melalui ketentuan ambang batas tersebut.
Melihat kenyataan itu, Titi mengaku punya strategi yang menguatkan argumentasi hukum dalam permohonan uji materinya. Perludem akan meminta MK memutuskan apakah ambang batas parlemen 4 persen sudah sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional atau tidak.
"Ini adalah pertanyaan konstitusional yang sangat penting untuk dijawab oleh MK, karena hal tersebut akan menentukan kepastian hukum di dalam regulasi penyelenggaraan pemilu. Perihal kepastian hukum ini jelas merupakan persoalan kontitusionalitas norma yang penting untuk dijawab oleh MK," tutur Titi.
Terlebih, konsistensi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sangat berkaitan dengan pemenuhan asas pemilu yang diatur di dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama asas jujur dan adil.
"Lalu ketika ada inkonsistensi pengaturan, serta hasil pemilu yang tidak proporsional sebagai akibat dari pengaturan ambang batas parlemen, jelas bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945," ungkap dia.