Papua Trauma, Operasi Militer Dianggap Bukan Solusi

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyesalkan istilah Organisasi Papua Merdeka (OPM) diubah menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Menurutnya, perubahan istilah OPM ke KKB juga mengubah paradigma penanganan kaum separatis di bumi cenderawasih.

Padahal menurutnya, kelompok ini hanya kelompok kriminal biasa. Namun ada keinginan besar di balik setiap aksi kriminalnya selama ini. 

Politikus PDIP itu menuturkan, bahwa kelompok separatis ini sejak dulu memang ingin merdeka. Apalagi, mereka punya kenangan trauma yang cukup panjang di era Orde Baru.

"Ada trauma yang dalam pada masyarakat Papua di era Orba tanpa memperhatikan HAM.  Ada 11 kali operasi militer yang pernah dilakukan. Inilah yang menimbulkan trauma masyarakat Papua,” ujar Hasanuddin, Rabu, 5 Mei.

Lebih lanjut, mantan perwira tinggi TNI-AD itu menceritakan saat dirinya masih menjabat sebagai ajudan Presiden BJ. Habibie. Di mana ia diminta untuk mengundang 100 tokoh Papua ke Jakarta. 

Dikatakannya, terjadi perdebatan dalam pertemuan tersebut. Para tokoh Papua minta referendum lantaran ada keinginan lepas dari NKRI. 

"Akhirnya, ketika itu diambil kebijakan berupa pemberian Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Lalu, digelontorkan lah anggaran besar ke Papua," jelasnya.

Namun, sambungnya, anggaran Otsus hanya dinikmati kaum elite Papua dan tak mengalir ke lapisan rakyat paling bawah. 

"Masyarakat di bawah tetap sulit mendapatkan ubi jalar, sulit mendapatkan akses kesehatan, dan pendidikan juga tidak tersentuh," jelas TB Hasanuddin.

Karenanya, dia mengingatkan agar penanganan KKB di Papua harus terukur, sistematis dan masif. Terlebih adanya operasi militer di wilayah ujung timur Indonesia itu.

"Pasukan yang dilibatkan dalam pemberantasan separatis di Papua harus terkendali dengan baik," tandas TB. Hasanuddin.

Pengamat militer Sidra Tahta Mukhtar menilai pemerintah harus melakukan pendekatan humanis untuk menyelesaikan persoalan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Menurutnya, pendekatan militer secara berlebihan justru akan membuat konflik semakin berkepanjangan.

Seperti cara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang berani menjembatani persoalan di Papua. Meskipun sempat mendapat penolakan menginjakkan kaki di bumi cenderawasih, Gus Dur nekat membuka ruang dialog yang memprioritaskan untuk membangun rasa saling percaya dengan masyarakat Papua. Bahkan dalam kepemimpinan yang singkat, Gus Dur meninggalkan bekas mendalam yang positif bagi orang Papua.

"Memang dari awal, konsep penanggulangan Papua itu setidaknya sejak jaman era Gus Dur ingin mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan pendekatan berbasis identitas lokal. Makanya bahkan bendera khas Papua boleh dikibarkan," ujar Sidra kepada VOI, Rabu, 5 Mei.

Menurut Sidra, agak sulit jika ingin menasionalkan sistem penanggulangan hukum atau pelanggaran kedaulatan maupun kejahatan lain di Papua. Sehingga, aksi-aksi kekerasan seperti sekarang ini tidak mudah diistilahkan sebagai aksi terorisme yang ditangani kepolisian RI tapi TNI.

"Nah, kami dulu diskusi dengan pak Tito waktu jadi Kapolri. Beliau mengatakan bahwa meskipun eskalasi mengarah pada ancaman kedaulatan negara, yang artinya sudah merupakan porsi dari peran TNI tetapi tetap mengatakan itu adalah sebuah fenomena pelanggaran hukum, makanya namanya KKB," jelasnya.

Sementara, kelompok seperti ini di Papua sudah masuk ke generasi ke-6 atau 60 tahun setelah merdeka, yang mempersepsikan diri bahwa orang asli Papua (OAP) dilabelkan sebagai objek diskriminasi negara dalam waktu yang lama. 

"Dan itu dilihat itu sebagai peran TNI di masa lalu. Makanya kata-kata pertama orang Papua khusus generasi ke-6 ini adalah 'kami tidak diperlakukan manusiawi, terjadi pelanggaran HAM luar biasa', dan itu belum pernah dapat pengadilan objektif dimata mereka," terang Sidra.

Bahkan di Amerika Serikat, kata Sidra, intensitas pembahasan Papua itu sangat tinggi bagi negara yang memiliki perhatian internasional. 

Karena itu, Sidra mengatakan, jika pola pikir negara ingin mempertahankan Papua maka bagaimana caranya untuk bisa merangkul dengan tidak menggunakan pendekatan militer yang terlalu dominan. 

"Mungkin itu perlu gradasinya secara bertahap (dialog perlahan, red)," katanya.

Sidra mencontohkan, operasi militer di Aceh dan Poso yang menyisakan trauma. Meski sudah berakhir, namun bekas operasi masih berlangsung lama, mungkin bisa satu generasi untuk menghilangkan jejak konflik yang berpengaruh terhadap kemanusiaan, atau persepsi orang poso terhadap negara.

"Saya khawatir apalagi Papua ini provinsi paling muda dari Indonesia, maka mendorong kemerdekaan ini juga didalamnya ada kekuatan tokoh-tokoh adat agama. Jadi bayangkan dua dimensi yang paling berbahaya di dunia ini kan ketika aspek agama dan etnik masuk sebagai perangkap konflik. Papua itu nasionalismenya di-triger oleh persepsi kedua identitas tadi," tutur eks peneliti ahli pada Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) itu.

"Karena itu menurut saya, pendekatan militer sebaiknya harus dalam tingkatan untuk mengatasi. Justru yang menjadi dasar persoalan sekarang ada trauma yang laten. Ini yang menyulitkan," sambung Sidra.

Sidra juga mengkhawatirkan pemberantasan KKB justru sasarannya jadi meluas. Sebab asumsi orang normal, berperang itu adalah militer menghadapi kombatan yang mengklaim wilayah kedaulatan. Tetapi, warga biasa malah dianggap sebagai kombatan, apalagi yang jadi unik ini dilabelkan kepada terorisme separatis.

"Papua itu ada konteks yang berbeda, ada proses yang cukup lama terjadi. Penanganan tidak sama dengan wilayah lain di Indonesia sehingga berakumulasi pada perlawanan. Perlawanan itu dalam konteks negara memang tepat hadir untuk memberikan keamanan dan kesejahteraan membangun pendidikannya. Itu kan kekerasan dilawan dengan kekerasan, sebaiknya kekerasan dilawan dengan hadirnya peran negara yang ideal," jelasnya.

Sekali lagi, tambah Sidra, penanggulangan Papua harus mencerminkan hadirnya Indonesia sebagai pelayan warga dalam rangka jika ada masalah seperti ini di Papua, maka harus dirangkul apapun kondisinya. 

"Negara memiliki segalanya untuk melakukan itu. Misalnya pemerintah daerah di sana memiliki teknologi, lalu telah membangun Papua itu dengan berapa ratus triliun, sekarang diperpanjang lagi dana otsus nya," katanya.

"Dengan demikian menurut saya sangat perlu untuk disikapi dengan humanis jangan pendekatan militer yang berlebihan. Keniscayaan menjadikan Papua sebagai bagian dari bagian dari Indonesia sampai selamanya, tapi kalau militer nanti akan ada kekuatan Papua yang secara global karena banyak dukungan (untuk merdeka, red)," tandas Sidra Tahta Mukhtar.

 

Operasi Militer Bukan Solusi

Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta mengatakan operasi militer bukan solusi utama penyelesaian masalah yang ada di Papua karena akan menimbulkan sikap antipati dan kekerasan lanjutan sesama warga negara Indonesia maupun terhadap aparat TNI-Polri.

"Pendekatan keamanan dengan mengedepankan operasi militer di Papua telah dilakukan ketika masa Orde Baru untuk menyelesaikan masalah separatisme di Papua," kata Sukamta.

Dia mencontohkan kasus Biak Berdarah (1998), Wasior Berdarah (2001), Wamena berdarah (2003), Paniai (2014), dan terakhir di Wamena 2019 menjadi bukti bahwa pendekatan militer ternyata menciptakan siklus kekerasan tanpa akhir.

Sukamta menilai masalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak akan selesai jika akar masalah Papua tidak terselesaikan secara tuntas.

"Pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua harus serius memenuhi kebutuhan standar minimal untuk kesehatan, pendidikan sampai level menengah atas, kesejahteraan dengan menurunkan angka kemiskinan di bawah 10 persen, kemudian komunikasi setara Jakarta-Papua," katanya.

Pendekatan kedua menurut dia, adalah deradikalisasi dan deideologi gerakan Papua Merdeka dengan melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang sudah berpengalaman dalam penanggulangan terorisme untuk Papua terjun ke kantong-kantong ideologisasi Gerakan Papua Merdeka di dalam dan luar negeri.

Menurut dia, ideologi Papua Merdeka harus diubah menuju nasionalisme NKRI.

Pendekatan ketiga menurut dia, adalah perbaikan tata kelola pemerintahan daerah, pemerintah melalui Kemendagri, Kemenpan RB bekerja sama dengan pemerintah daerah Papua, Polri, Kejaksaan, BPK, KPK harus serius menangani permasalahan efisiensi anggaran, manajemen pemerintah dan pelayanan publik di Papua.

"Sejak tahun 2001 hingga 2019, total dana otsus untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 83 triliun dan pada 2020 dialokasikan Rp 8,37 triliun, namun perkembangan peningkatan kualitas SDM, tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik tidak berubah signifikan," katanya.

Menurut dia, pemerintah pusat harus serius mengawal dana otsus ini bukan hanya transfer dana ke daerah lalu berlepas tangan dalam mengawal pengelolaan dan pencapaian target-targetnya.