Tantangan Politik dan Hukum Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

JAKARTA - Setelah dilantik dan menunjuk menteri-menterinya Presiden Prabowo Subianto membawa menteri, wamen dan Kepala Badan di Kabinet Merah Putih ke Akademi Militer, di Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah untuk mengikuti retreat dan pembekalan. Penggemblengan di lokasi Pendidikan militer itu untuk membentuk kekompakan, kedisiplinan dan loyalitas sebelum mereka memulai bergabung di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran.

Ini merupakan tradisi baru dan sepertinya untuk pertama terjadi selama zaman era reformasi. “Saya sengaja memilih Lembah Tidar untuk mengajak pimpinan pemerintah Republik Indonesia hingga lima tahun yang akan datang, bahwa Lembah Tidar ini bagian dari suatu wilayah perjuangan panjang" kata Prabowo dalam sambutan, seperti dikutip situs resmi Presiden RI.

Di tengah gunjingan publik tentang gemuknya jumlah kabinet Prabowo-Gibran saat ini. Jumlah menteri kabinet Merah Putih Prabowo total mencapai 109 orang, terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala lembaga non kementerian. Kabinet yang mengusung keberlanjutan dan persatuan itu memang menampung banyak orang terutama anggota koalisi dan berusaha merangkul kelompok lain di luar koalisi. Kabinet yang akan fokus pada persoalan ekonomi itu.

Namun tidak menutup perhatian pada masalah politik dan hukum. Salah satu indikasinya dengan ada perluasan kementerian hukum saat ini. Menteri Hukum, dipecah menjadi tiga kementerian yang berbeda. Antara lain Kementerian Hukum, Kementerian HAM serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Dengan menterinya masing-masing Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum, Natalius Pigai sebagai Menteri HAM, serta Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan yang dipegang eks Wakapolri Agus Andrianto. Sementara sebagai Menteri Koordinasi dipegang Yusril Ihza Mahendra dengan wakilnya Otto Hasibuan.

Kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden menghadapi berbagai tantangan dalam bidang politik dan hukum. Tantangan ini akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan serta keberhasilan dalam mencapai tujuan jangka panjang, termasuk visi Indonesia Emas 2045.

Sehingga sejak awal Prabowo ingin merengkuh teman maupun lawan ke dalam barisan. Tak terkecuali partai yang berseberangan, seperti PDIP diupayakan masuk ke dalam pemerintahan, demi memuluskan jalan pemerintahan. "Kenapa gemuk, karena adanya kebutuhan dari presiden terpilih untuk memastikan stabilitas politik di parlemen dan di luar parlemen," ujar Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seperti dikutip dari Antara.

Prabowo memang sejak awal ingin mengupayakan konsolidasi dan stabilitas pemerintahannya. Mengelola koalisi yang luas dengan beragam partai politik menjadi tantangan utama. Pemerintah harus mampu mengakomodasi berbagai kepentingan tanpa mengorbankan efektivitas kebijakan. Ketidakseimbangan dalam koalisi dapat menimbulkan konflik internal yang menghambat kinerja pemerintahan.

Pengelolaan politik yang juga dirasa penting adalah soal otonomi daerah dan sinergi pusat-daerah. Kendala yang dihadapi dalam persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sering menghambat implementasi kebijakan secara efektif. Pembenahan komunikasi dan kerja sama antara pusat dan daerah diperlukan agar otonomi tidak mengurangi kohesi nasional.

Pemerintah Prabowo juga harus mengupayakan penguatan demokrasi dan integritas pemilu, yang redup semasa pemerintahan Jokowi. Termasuk politik uang dan manipulasi dalam proses pemilu menjadi tantangan serius. Sehingga pemerintah baru harus memperkuat lembaga pemilu dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam proses pemilihan guna menjaga kepercayaan publik.

Sementara di bidang hukum, ada sejumlah PR yang harus dibenahi pemerintahan Prabowo-Gibran, yakni soal pemberantasan korupsi. Dimana indek korupsi terus turun. Korupsi tetap menjadi ancaman besar bagi tata kelola pemerintahan. Prabowo-Gibran perlu memperkuat lembaga penegak hukum seperti KPK dan menindak korupsi secara tegas, terutama di sektor-sektor strategis seperti energi dan pertambangan.

Selain soal korupsi, masalah penegakan hukum dewasa ini menjadi persoalan serius. Banyak pihak menilai penegakan hukum seringkali berkelindan dengan intervensi politik. Independensi lembaga peradilan sangat penting untuk memastikan supremasi hukum. Pemerintah harus memastikan penegakan hukum berjalan tanpa tekanan politik, guna meningkatkan kepercayaan publik dan investor terhadap sistem peradilan kita.

Pemerintahan Prabowo harus mampu membenahi reformasi birokrasi dan kepastian hukum. Birokrasi yang efisien dan regulasi yang jelas akan memperkuat iklim investasi. untuk itu pemerintah perlu fokus pada reformasi birokrasi dan kepastian hukum agar investasi dan pembangunan dapat berjalan lancar. Pemerintahan baru ini perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menciptakan stabilitas dan meningkatkan transparansi. Dengan mengatasi tantangan tersebut, Prabowo-Gibran dapat meletakkan fondasi yang kokoh mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Tidak Ada Pengecekan

Kabinet Merah Putih di Gembleng di Lembah Tidar (VOI)

Terkait penanganan hukum, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi catatan tentang pembentukan Kabinet gemuk Prabowo. ICW menyatakan meragukan komitmen antikorupsi kabinet tersebut. "Terlebih penunjukan menteri dan wakil menteri terlihat lebih mengedepankan aspek politik akomodatif, tanpa mempertimbangkan rekam jejak, integritas, dan kompetensi" tulis ICW dalam siaran persnya, 24 Oktober.

ICW juga memberikan setidaknya 6 catatan tentang pembentukan kabinet Prabowo, mereka menilai pemilihan menteri dan wakil menteri mengabaikan integritas dan catatan hukum, karena terdapat sejumlah anggota kabinet dengan rekam jejak pernah diperiksa, bahkan disebut-sebut menerima uang korupsi dalam fakta persidangan.

Prabowo juga dinilai tidak memanfaatkan instrumen negara untuk melakukan pengecekan mendalam rekam jejak kandidat. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Juga tidak ada indikator penilaian yang jelas, khususnya terhadap menteri bekas Presiden Jokowi. Di mana ada 18 orang menteri dan wakil menteri pemerintahan Jokowi. Selain itu, pemilihan kabinet lebih dominan politik transaksional ‘bagi-bagi kue’ menteri.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur juga turut memberikan catatan atas pembangunan hukum di Kabinet Prabowo. Ia menginginkan adanya pemulihan penegakan dihukum. Penegakan hukum yang amburadul misalnya ditemukan kasus suap hakim. Isnur juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan pemisahan kementerian hukum menjadi 3 kementerian. "Lebih baik kembalikan Ham ke Kementerian Hukum." ujar Isnur, dihubungi VOI, 27 Oktober.

Hal-hal yang harus diperbaiki di bidang hukum, menurut Isnur, antara lain segera cabut atau revisi UU yang menggusur rakyat, seperti UU IKN, UU Minerba, UU Cipta Kerja harus kembalikan lagi.Juga segera sahkan RUU yang berpihak pada rakyat, seperti UU Masyarakat adat dan UU Perampasan Aset