Program Makan Gratis di Tengah Klientelisme Politik di Tanah Air Tercinta

JAKARTA – Program makan gratis yang menjadi unggulan Presiden Terpilih RI, Prabowo Subianto, memang belum resmi diketok. Namun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan tim transisi pemerintahan Prabowo telah sepakat menentukan anggaran sebesar Rp71 triliun untuk APBN 2025.

Uji coba program tersebut juga sudah beberapa kali dilakukan. Terakhir diadakan di Kabupaten Bogor pada 23 Juli lalu dan dihadiri Wakil Presiden Terpilih, Gibran Rakabuming Raka. Uji coba makan gratis ini akan dilakukan hingga Oktober di berbagai daerah.

Kepada media, Gibran memberikan keterangan yang mengambang soal program makan gratis ini. Semuanya serba belum jelas, karena masih bersifat uji coba.

Spanduk makan siang dan susu gratis yang dikampanyekan Prabowo-Gibran menjelang Pemilu 2024. (Istimewa)

“Nanti ada. Sekali lagi, siapa yang mengurus, siapa yang mengawasi, siapa yang bertugas untuk distribusi, logistik, nanti akan segera kita tentukan. Saya belum dilantik loh ya,” kata Gibran dalam uji coba makan gratis di SDN 02 dan 03 Sentul, Bogor pada 23 Juli 2024.

Dalam uji coba tersebut, makanan yang disediakan dalam kotak plastik dengan anggaran Rp14,900 per anak. Menunya terdiri dari nasi, sayur, daging ayam, buah, dan susu.

Perubahan Program

Pada masa kampanye menjelang Pilpres 2024, Prabowo-Gibran dan tim kampanye mereka sangat gencar menggaungkan program makan gratis. Disebutkan bahwa program ini memerlukan anggaran hingga Rp460 triliun per tahun.

Dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia pada November 2023, Prabowo menyebutkan bahwa makan gratis ini menyasar hampir 83 juta warga. Rinciannya adalah 30 juta anak usia dini, 24 juta siswa SD, 9,8 juta anak SMP, 10,2 juta muris SMU dan SMK, 4,3 juta santri, dan 4,4 juta ibu hamil.

Program ini langsung dibahas tak sampai dua pekan setelah Pemilu 14 Februari 2024. Presiden Jokowi mengangkat program ini dalam rapat kabinet paripurna pada 26 Februari. Padahal saat itu belum ada pengumuman dari KPU soal pemenang Pemilu.

Usai rapat kabinet, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan penurunan jumlah penerima manfaat makan gratis. Menurut Airlangga, program ini akan diterimakan kepada 70,5 juta orang. Ada 23,3 juta balita, 7,7 juta anak TK, 28 juta anak SD, dan 12,5 juta anak SMP. Tidak ada ibu hamil dan murid SMU atau SMK disebutkan Airlangga.

Nama program pun direvisi. Semula “makan siang dan susu gratis”, diganti “makan bergizi gratis untuk anak-anak”. Dapat diartikan, makan gratis ini tidak harus disajikan siang hari, namun dapat juga berupa sarapan pagi.

Meminimalisasi Kegagalan

Meskipun terlihat kecil, Rp71 triliun dibandingkan estimasi Rp460 triliun, jumlah ini tetap menarik untuk dicermati. Anggaran program makan gratis ini sudah mendekati anggaran Kementerian Sosial pada 2024 yang sebesar Rp78,05 triliun. Anggaran sebesar itu sudah mencakup seluruh progam Kemensos.

Bahkan Kementerian Keuangan “hanya” mengalokasikan anggaran sebesar Rp48,7 triliun untuk 2024. Kementerian Perhubungan malah lebih kecil lagi, karena mereka punya anggaran Rp38,6 triliun untuk 2024.

Dalam artikel No Such Thing as Free Lunch: Counting The Cost of Prabowo Free Food Program dua peneliti, Fakhridho Susilo dan Jaysa Rafi Prana, menyarankan agar program makan gratis sebaiknya mendompleng program-progam sosial yang sudah ada. Semua demi meminimalisasi risiko lonjakan biaya.

“Dua program yang paling relevan adalah bansos sembako dan Kartu Indonesia Pintar atau KIP. Program makan gratis ini dalam memperluas program bansos sembako yang ada, yaitu dengan manfaat tambahan untuk membeli makanan matang dari pedagang yang berpartisipasi.”

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto melihat menu makanan milik siswa saat simulasi program makan siang gratis di SMP Negeri 2 Curug, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis 29 Februari 2024. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meyediakan 162 porsi dengan empat macam menu makanan sehat senilai Rp15 ribu per porsi pada simulasi program makan siang gratis. (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/Spt)

“Hal ini tidak hanya membantu masyarakat miskin, namun juga warung-warung makan kecil dan menggerakkan perekonomian. Sedangkan dengan KIP, siswa dapat mengambil susu atau jajanan bergizi gratis di kantin sekolah,” begitu ditulis dalam artikel tersebut.

Pengendalian biaya adalah faktor sangat penting dalam implementasi sebuah program baru, sehingga tidak memberatkan anggaran negara. Program hiperpopulis yang tidak dikontrol dengan baik dapat dicontohkan dengan yang terjadi di Venezuela.

Negeri di Amerika Selatan itu mengalami hiperinflasi gegara program sok populis, tanpa memperhitungkan konsekuensi ekonomi dan fiskal.

Program Sosial untuk Berkuasa

Program sosial dengan skala besar seperti makan gratis sangat rawan korupsi, terutama di Indonesia. Sudah ada contoh nyata, misal bantuan sosial COVID-19 yang menyeret Menteri Sosial Juliari Batubara.

Kontrol yang lemah memudahkan beberapa pejabat memindahkan uang ke kantong sendiri, atau dipakai untuk keperluan yang tidak semestinya. Sangat masuk akal jika kemudian muncul kecurigaan, bahwa beberapa pejabat akan meminta sogokan dari pemasok yang dikontrak untuk menyediakan barang. Pengalaman sudah membuktikan. Ini Indonesia Bung!

Belum lagi jika program bantuan sosial digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Politisasi program sosial kerap terjadi di negara-negara berkembang, terutama di negara-negara dengan sistem politik yang didominasi klientelisme: quid for quid, lu dapat apa gue dapat apa.

Di Indonesia, klientelisme merupakan fenomena politik yang sering dijumpai. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan dana hibah dan bantuan sosial atau bansos sudah meluas.

Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Subianto makan siang bersama. (ANTARA)

Klientelisme dan korupsi seringkali berkelindan. Politikus harus menanggung biaya yang sangat besar untuk membiayai dukungan mesin kampanye mereka. Proyek kerap dialokasikan untuk calo suara sebagai imbalan atas layanan pemilu, atau kepada konstituen sebagai klien demi mempertahankan loyalitas.

Untuk mengatasi masalah korupsi dalam program makan gratis, transparansi dan akuntabilitas yang ketat wajib diterapkan. Kriteria penerima harus dirinci dan dipublikasikan terbuka, agar transparansi tinggi terjaga. Digitaliasasi dalam administrasi program wajib diterapkan, supaya campur tangan politik dan pihak luar dapat diminimalisasi.

Selain lembaga negara, masyarakat sipil juga perlu dilibatkan dalam pengawasan selain audit eksternal independen harus dilakukan secara rutin. Tanpa semua itu program makan gratis tak hanya akan merugikan keuangan negara, namun juga demokrasi Indonesia.