DPR Tekankan Peran Ayah dalam Pengasuhan Kurangi Fenomena Anak Fatherless
JAKARTA - Dalam memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2024 yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, Komisi VIII DPR RI menekankan pentingnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak. Kehadiran sosok ayah merupakan hal yang perlu diperhatikan agar membuat anak memiliki kesehatan mental yang baik dan kuat.
“Selamat hari anak nasional untuk seluruh anak Indonesia. Di tahun ini saya berharap masyarakat dapat memperhatikan pentingnya peran ayah bagi tumbuh kembang anak,” kata Anggota Komisi VIII DPR Selly Andriany Gantina, Selasa 23 Juli.
Selly pun menyinggung soal DPR yang telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) yang tinggal menunggu aturan turunannya dari Pemerintah agar dapat diimplementasikan.
"Undang-Undang ini harus menjadi tonggak penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga di Indonesia,” tuturnya.
Adapun UU KIA diinisiasi DPR sebagai upaya membangun kesejahteraan ibu dan anak pada tingkatan terkecil agar menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya keluarga saja, namun juga lingkungan karena tumbuh kembang anak merupakan tanggung jawab kolektif bersama, termasuk Pemerintah.
UU KIA hadir tak hanya mengatur soal cuti melahirkan bagi ibu pekerja saja, tapi juga tentang cuti pendampingan bagi pekerja pria yang istrinya baru saja melahirkan. Lewat UU KIA, ayah dimungkinkan untuk memperpanjang cuti untuk mendampingi istrinya merawat anak yang baru lahir.
Selly mengatakan, peran ayah sangat diharapkan dalam mengasuh anak terutama karena 1.000 hari fase kehidupan anak merupakan masa kritis di mana anak bertumbuh dan berkembang dengan sangat cepat dan signifikan. Masa ini tidak bisa terulang dan tidak terjadi pada kelompok usia lain.
“UU KIA mengatur agar ayah ikut berperan dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Karena ayah berperan penting dalam golden age anak, termasuk saat bayi baru lahir," jelas Selly.
“Perpanjangan cuti ayah ini bisa menjadi langkah krusial untuk memastikan hak tersebut dapat diakses secara merata oleh pekerja. Peran ayah sangatlah dibutuhkan baik untuk ibu maupun anak,” sambungnya.
Baca juga:
- Gibran Uji Coba Makan Bergizi Gratis dengan Menu Seharga Rp14.900, Lengkap dengan Susu
- Banyak Anggota Jadi Ojek Online, KSAD Jenderal Maruli Usul TNI Boleh Berbisnis
- IKN Nusantara, Kota Tanpa Demokrasi yang Berpotensi Jadi Distopia Jika Salah Kelola
- Penembakan Trump dan Pengunduran Diri Joe Biden Jadi Faktor Utama Bitcoin Melesat
Dalam UU KIA memang ada klausul yang menegaskan bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama ayah dan ibu. Mulai dari mempersiapkan segala hal sebelum kehamilan seperti menjaga dan memeriksakan kondisi saat perencanaan kehamilan, lalu ketika ibu hamil, sampai saat ibu melahirkan dan pasca melahirkan hingga ibu menyusui.
Selly mengatakan keterlibatan ayah yang lebih tinggi dalam pengasuhan anak dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik keluarga. Ayah yang lebih terlibat pada pengasuhan anak disebut dapat memberikan dukungan emosional yang signifikan kepada ibu dan anak.
“Kemudian juga untuk mengurangi risiko depresi pasca melahirkan pada ibu, dan memperkuat ikatan keluarga. Hal ini dapat berdampak positif pada perkembangan anak dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan, serta mengurangi beban sistem kesehatan dalam jangka panjang,” ucap Selly.
Mantan Wakil Bupati Cirebon itu pun menyebut cuti ayah yang lebih panjang diharapkan dapat menciptakan perubahan norma sosial di mana ayah lebih terlibat dalam pengasuhan anak. Selly mengingatkan, beberapa penelitian mengungkap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial anak.
“Ini penting untuk membentuk generasi yang lebih adil dan setara dalam pembagian tugas rumah tangga,” tegasnya.
Selly juga menyoroti tentang fenomena fatherless di mana Indonesia menjadi negara di dunia yang cukup banyak dengan jumlah keluarga fatherless. Fatherless sendiri merupakan fenomena ketika ayah tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban dan perannya sebagai sosok ayah atau dapat diartikan sebagai ketidakhadiran peran ayah dalam perkembangan anak baik secara fisik maupun secara psikis.
Data UNICEF tahun 2021 menyebut terdapat sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ataupun peran ayah, baik karena perceraian, kematian, ataupun ayah bekerja jauh. Pada sisi lain, menurut data Susenas 2021, jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sekitar 2.999.577 anak kehilangan sosok ayah. Survei BPS pada tahun 2021 juga menemukan hanya 37,17% anak-anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh ayah dan ibu kandungnya secara bersamaan.
Oleh karenanya, Selly menegaskan pentingnya peran ayah karena anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan dari sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, dan self esteem rendah.
“Belakangan ini kan Indonesia disebut sebagai negara kekurangan figure ayah atau Fatherless. Melalui aturan cuti ayah dalam UU KIA, kita berharap angka anak yang mengalami fatherless bisa berkurang,” harap Selly.
Di sisi lain, Selly menilai kebijakan cuti ayah juga dapat mendukung kesetaraan gender karena ayah dapat berkontribusi secara langsung pada pengurangan beban ganda yang dialami perempuan. Sebab selama ini perempuan dituntut untuk bertanggung jawab atas rumah tangga dan pengasuhan anak.
“Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perubahan budaya yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia, di mana peran ayah dalam pengasuhan anak diakui dan dihargai secara setara,” ujar Selly.
“Namun, ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk media, komunitas, dan organisasi non-pemerintah, untuk mengkampanyekan pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Edukasi dan kampanye publik yang efektif dapat membantu mempercepat perubahan budaya ini,” lanjutnya.
Di sisi lain, Selly menilai perpanjangan cuti ayah dapat memberikan dampak positif tidak hanya bagi keluarga tetapi juga bagi perekonomian dan kesejahteraan sosial. Sebenarnya, DPR sebelumnya menginisiasi agar perpanjangan cuti ayah bisa sama seperti di negara maju hingga mencapai berminggu-minggu. Di Spanyol bahkan cuti ayah sampai 4 bulan.
Hanya saja, atas kesepakatan pihak-pihak terkait, cuti ayah dalam UU KIA diatur untuk dua hari, atau tambahan tiga hari berikutnya sesuai kesepakatan. Selly menyebut, perpanjangan cuti ayah dapat mempengaruhi produktivitas jangka pendek di perusahaan, terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja.
“Pengusaha mungkin khawatir bahwa cuti yang lebih panjang akan menambah beban biaya, baik dari segi gaji yang tetap harus dibayarkan maupun biaya untuk menutupi kekosongan tenaga kerja,” terang Legislator dapil Jawa Barat VIII itu.
Padahal, menurut Selly, cuti ayah dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Tentunya hal tersebut berdampak positif terhadap produktivitas karyawan karena dapat mengurangi stres hingga meningkatnya loyalitas serta kinerja.
“Implementasi kebijakan ini memerlukan pendanaan yang cukup, termasuk untuk sistem administrasi yang memastikan hak cuti ayah dapat diakses oleh semua pekerja tanpa diskriminasi,” urai Selly.
“Ini mungkin memerlukan alokasi anggaran tambahan dari Pemerintah atau skema pembiayaan baru, yang bisa berupa kontribusi dari pengusaha atau partisipasi dari sistem asuransi sosial,” imbuhnya.
Selly menyatakan, kebijakan perpanjangan cuti ayah seperti negara maju memerlukan dukungan politik yang kuat, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini lantaran akan ada resistensi dari kelompok-kelompok yang merasa dirugikan atau terancam oleh perubahan ini, terutama dari sektor bisnis.
“Oleh karena itu, diperlukan dialog yang konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencapai konsensus dan solusi yang seimbang,” ungkap Selly.
Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perlindungan anak itu pun menyebut beberapa negara maju telah berhasil menerapkan kebijakan cuti ayah yang lebih panjang dengan hasil yang positif. Menurut Selly, Pemerintah Indonesia dapat belajar dari praktik terbaik negara-negara tersebut untuk mengoptimalkan implementasi kebijakan di dalam negeri.
“Ini juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan citra internasionalnya sebagai negara yang mendukung kesetaraan gender dan kesejahteraan keluarga,” tukasnya.