Sri Mulyani Kerek Target Lifting Minyak 2024 Jadi 635.000 Barel per Hari

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan target lifting minyak bumi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 menjadi 635.000 barel per hari dari sebelumnya yang ditetapkan sebesar 625.000 barel per hari.

"Lifting minyak naik dari 625.000 ke 635.000 dari komisi VII yang menggambarkan komitmen kenaikan," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengan Badan Anggaran, Kamis 7 September.

Untuk memastikan target ini dapat tercapai, Sri Mullyani mengatakan pihaknya akan terus memonitor kegiatan lifting oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)

"Kami tentu KKKS dan SKK Migas akan terus kita monitor agar delivery dari lifting minyak bisa betul-betul terwujud pada angka 635.000 barel per hari," lanjut Sri Mulyani.

Sementara itu untuk gas bumi terpantau tidak mengalami perubahan alias tetap di 1,33 juta barel oil equivalen per day (BOEPD).

Dalam kesempatan yang sama Menkeu juga menaikan asumsi harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) dari 80 dolar AS menjadi 82 dolar AS per barel di Rancangan APBN 2024.

Dalam keterangannya, Menkeu menjabarkan sejumlah asumsi dasar yang membuat pemerintah mengambil inisiatif untuk mengerek ICP antara lain harga minyak yang mengalami kenaikan beberapa minggu terakhir.

"Bahkan asumsi sekarang di sekitar 90 dolar per barel. Ini karena dari Arab Saudi maupun Rusia memiliki komitmen untuk menahan atau mengurangi produksi. Bahkan tadi pagi beritanya akan ditahan (produksinya) sampai dengan Desember,” urai Sri Mulyani.

Menurutnya situasi ini kemudian mendorong peningkatan harga. Terlebih, di negara-negara empat musim sedang menuju periode musim dingin.

Lebih lanjut, Menkeu mengungkapkan jika kebijakan Amerika Serikat dalam mengamankan pasokan energi nasional membuat sisi suplai menjadi lebih tertekan.

“Kita juga mendengar berita (Presiden AS Joe Biden) membatalkan eksplorasi minyak di Alaska. Ini tentu akan menimbulkan dinamika dari supply side-nya,” tegas dia.

Sementara dari faktor permintaan (demand) ekonomi AS masih diliputi ketidakpastian akibat pilihan untuk menurunkan suku bunga atau menjaga pertumbuhan domestik.

“Lalu ekonomi ketiga terbesar di dunia, China, sedang berupa mengembalikan perekonomian yang sekarang cenderung melemah,” katanya.

“Jadi faktor-faktor inilah yang menentukan dinamika harga minyak, baik itu supply-demand maupun prospek ekonomi ke depan,” pungkas Sri Mulyani.