Mengapa Indonesia Sebaiknya Tahan Diri Tanggapi Kudeta Myanmar
JAKARTA - Pemerintah Indonesia sebaiknya menahan diri menanggapi kudeta militer di Myanmar. Ada alasannya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menjelaskan, respons terhadap kudeta bisa dianggap sebagai bentuk intervensi Indonesia terhadap urusan dalam negeri Myanmar.
"Dalam Piagam ASEAN (PBB di Asia Tenggara) di Pasal 2 Ayat 2 huruf e disebutkan bahwa negara-negara ASEAN tidak akan melakukan intervensi (non-interference) dalam masalah domestik suatu negara. Oleh karenanya, sikap Indonesia adalah menghormati hal ini dengan tidak melakukan apa-apa sampai ada kepastian dari pemerintah yang sah," Hikmahanto menjelaskan rekomendasinya untuk Pemerintah Indonesia.
Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintahan demokratis, Senin pagi, dan menahan penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, beberapa politisi partai pemenang pemilihan umum Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis.
Tidak lama setelah penangkapan Suu Kyi, militer menetapkan status darurat yang akan berlaku satu tahun. Status darurat ditetapkan karena militer menilai pemerintah gagal mengatasi sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020 dan meredam aksi protes massa di beberapa daerah.
Idealnya bagi Indonesia
Terkait kudeta itu, Hikmahanto berpendapat Pemerintah Indonesia cukup mengamati perkembangan situasi di Myanmar dan memberi peringatan kepada warga negara Indonesia (WNI) di negara tersebut atau yang berencana pergi ke Myanmar.
"Indonesia harus membiarkan pemerintahan kudeta melakukan konsolidasi," sebut dia, seraya menegaskan Indonesia berbeda dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris yang langsung mengecam kudeta militer di Myanmar karena melanggar prinsip demokrasi.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, pada Senin siang, 1 Februari meminta seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar segera menahan diri dan mengedepankan dialog sebagai cara menyelesaikan masalah.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, sebagaimana dikutip dari pernyataan resmi yang diunggah di media sosial Twitter, mengatakan Indonesia prihatin terhadap situasi politik yang terjadi di Myanmar.
Baca juga:
"Indonesia meminta seluruh pihak tunduk pada prinsip-prinsip Piagam ASEAN, mematuhi aturan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, dan pemerintahan yang konstitusional. Indonesia juga menggarisbawahi bahwa seluruh sengketa pemilihan umum dapat diselesaikan lewat mekanisme hukum yang tersedia," demikian menurut Kementerian Luar Negeri RI.
Kementerian Luar Negeri mencatat setidaknya ada sekitar 500 WNI di Myanmar. "Kondisi mereka saat ini dalam keadaan baik dan aman. Mayoritas WNI bekerja di sektor migas (minyak dan gas, red), pabrik, industri garmen, dan ABK (anak buah kapal, red)," kata Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha, lewat informasi tertulis yang diterima Senin, 1 Februari.
Judha menyatakan bahwa kantor perwakilan RI di Myanmar telah mengimbau WNI agar tetap tenang dan menghubungi kontak darurat yang tersedia jika menghadapi masalah.