Penyegelan Gereja-Gereja pada Masa Penjajahan Jepang di Nusantara

JAKARTA - Siasat penjajah Jepang meninggikan derajat kaum bumiputra tak perlu diragukan. Empunya kuasa tak membiarkan orang Eropa –utamanya orang Belanda—hidup tenang. Mereka diburu dan dijebloskan ke kamp interniran.

Semua tempat persembunyian orang Belanda disisir. Gereja, apalagi. Jepang pun menyegel sebagian besar rumah ibadah kaum Nasrani. Orang Eropa yang mengabdikan diri di gereja semuanya di penjara. Dari pendeta hingga misionaris. Mereka diperlakukan bak binatang.

Jepang mampu tampil perkasa dalam Perang Dunia II. Namun, Jepang sadar diri. Mereka membutuhkan dukungan yang tak sedikit untuk menjaga eksistensinya. Dari dana hingga bahan bakar. Jepang pun mulai membebaskan negara-negara di Asia dari jeratan kolonialisme.

Hindia Belanda (kini: Indonesia) tak ketinggalan. Operasi menguasai Nusantara dilakukan dengan terukur. Negeri Matahari Terbit menurunkan mata-matanya untuk mengamati situasi dan kondisi di Hindia Belanda. Upaya itu berjalan lancar pada 1942.

Perlawanan Jepang didukung penuh oleh kaum bumiputra. Mereka sudah gerah melihat perlakukan tak manusiawi penjajah Belanda. Jepang pun memanfaatkan dukungan kaum bumiputra dengan memukul mundur Belanda.

Militer Jepang di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Kemenangan itu membuat Jepang jadi penguasa baru di Nusantara. Kaum bumiputra lalu menyambutnya dengan gegap gempita. Jepang dianggap bak juru selamat. Apalagi Jepang membawa narasi dirinya sebagai saudara tua.

Propaganda Jepang itu semakin menarik simpati kaum bumiputra. Mereka mendukung Jepang dengan segala macam agenda politiknya di Nusantara. Sebab, kebanyakkan kaum bumiputra beranggapan Jepang adalah satu-satunya harapan untuk Indonesia dapat meraih kemerdekaan.

"Rakyat benci kepada Belanda. Lebih‐lebih lagi karena Belanda lari terbirit‐birit dan membiarkan kita tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari ketakutan."

"Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan‐tuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang mendepaknya keluar. Di samping itu, tuan‐tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu bertekuk‐lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka," terang Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2000).

Segel Gereja

Boleh jadi kedatangan Jepang dianggap bak juru selamat oleh segenap kaum bumiputra. Tapi, tidak untuk orang Belanda. Mereka menganggap kehadiran Jepang sebagai mimpi buruk. Kehidupan mewah orang Belanda bak warga negara nomor satu segera sirna.

Semuanya karena penjajah Jepang butuh dukungan kaum bumiputra. Jepang pun mulai mengambil hati kaum bumiputra dengan meninggikan derajat kaum bumiputra. Segala macam perlakuan orang Belanda yang mempermalukan kaum bumiputra rendah tak terdengar lagi.

Keadaan kini berbalik. Orang Belanda justru menempati strata terendah dalam masyarakat. Jepang memburu seluruh orang Belanda dan menangkapnya. Segala macam persembunyian orang Belanda segera disisir. Gereja, utamanya. Gereja di masa itu banyak digunakan sebagai tempat persembunyian dan perlawanan tentara Belanda.

Segenap pusat ibadah kaum Nasrani yang ada di Nusantara segera disegel dalam waktu yang lama oleh Jepang. Tujuannya supaya gereja tak menjadi tempat persembunyian dan menjadi pusat gerakan politik melawan penguasa. Makin hari gereja yang disegel cukup banyak.

Militer Jepang berpose bersama kaum nasionalis. (Wikimedia Commons)

Penyegelan itu dilakukan bersamaan dengan upaya menangkap seluruh pendeta dan misionaris Eropa --utamanya Belanda-- untuk dipenjara. Mereka kemudian diperlakukan tak manusiawi di kamp interniran. Sekalipun profesi mereka dianggap mulia.

Mereka dipaksa kerja, disiksa, dan meratapi nasib buruk karena terlahir sebagai seorang berkulit putih. Perlakuan itu sama seperti perlakukan orang Belanda kepada kaum bumiputra sebelumnya. Dukungan kaum bumiputra kepada Jepang pun tak bertahan lama. Sebab, kemudian kaum bumiputra menyadari Jepang tak ada bedanya dengan penjajah Belanda. Jepang hanya berganti jubah saja. Dalamnya tetap kolonialisme.

“Bendera Merah Putih pada mulanya diperkenankan untuk dikibarkan oleh rakyat. Tetapi lama-kelamaan sikap mereka berubah. Orang-orang yang pernah diperkenankan mengambil isi toko-toko mulai dicari-cari untuk dihukum. Bendera Merah Putih dilarang dikibarkan dan sebagai gantinya harus mengibarkan bendera Hinomaru.”

“Rakyat dikerahkan mengerjakan kebun-kebun, tapi hasilnya harus diserahkan kepada Jepang. Gereja-gereja diambil alih dan ditutup karena dianggap sebagai harta-benda musuh, walaupun kemudian diizinkan buka –setelah dua atau tiga tahun disegel-- dengan syarat tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan politik,” tertulis dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara (1979).