Sesal Anggota DPR Setelah Tahu Kasus Pencabulan Anak SD Kediri Malah Damai: Polisi Harus Bertindak!

JAKARTA - DPR menyesalkan kasus pencabulan yang dilakukan oknum guru berinisial M kepada delapan siswa SD di Kediri, Jawa Timur, berakhir damai. Pihak kepolisian wajib mengusut kasus ini.

"Aparat kepolisian Kediri harus segera bertindak sesuai dengan kewenangannya, apalagi pelaku sudah jelas mengakui perbuatannya,” kata Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Luluk Nur Hamidah, Kamis 21 Juli.

Meski pelaku sudah diperiksa Inspektorat Dinas Pendidikan, namun kasus pencabulan malah berakhir damai antara pelaku dan korban. Luluk mengingatkan, UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dapat menjerat pelaku tanpa harus ada pengaduan.

“Eksploitasi seksual itu ancamannya bisa 15 tahun penjara. Yang harus diketahui oleh masyarakat, bahwa kekeraan seksual di mana korbannya adalah anak-anak bukan delik aduan dan tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan,” Luluk Nur Hamidah dalam keterangan resmi parlemen.

Dalam Pasal 23 UU TPKS disebutkan, Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Pelaku juga bisa diberikan pemberat hukuman karena statusnya sebagai tenaga pendidik.

“Penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan, kehormatan dan pengaruh serta kepercayaan justru menjadi faktor pemberat bagi pelaku. Pencabulan yang dilakukan oleh guru merupakan tindak kejahatan yang sangat serius,” ungkap Luluk.

Legislator dari Dapil Jawa Tengah IV ini pun menyayangkan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan Kediri karena memfasilitasi upaya damai antara pelaku dan korban, yang diwakili oleh orang tua korban. Menurut Luluk, hal ini juga menyalahi UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dinas Pendidikan dan pihak sekolah seharusnya berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) terkait agar korban mendapatkan pendampingan dan layanan pemulihan.

“Serta tentunya secara hukum korban juga didampingi. Ini akan jadi preseden bagi semua kasus kekerasan seksual jika berakhir dengan damai, terlebih upaya damai ini dilakukan terhadap korban anak-anak,” sebutnya.

Luluk mengatakan, pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual harus dilakukan untuk melindungi kepentingan dan masa depan korban. Ia mengingatkan, para korban berhak didampingi dan dilindungi martabatnya.

“Para korban berhak untuk tidak diekspos nama, wajah dan identitasnya secara terbuka. Bahkan pengadilan juga dapat diselenggarakan secara tertutup demi melindungi korban anak-anak,” papar Luluk.

“Jadi orangtua atau keluarga jangan takut untuk menempuh jalur hukum, dan kita minta aparat penegak hukum untuk secara proaktif menindaklanjuti kasus ini dengan memanggil pihak-pihak terkait, khususnya pelaku, saksi-saksi, dan juga korban,” imbuh anggota Komisi IV DPR RI itu.

Luluk pun menyoroti ‘hukuman’ kepada oknum guru pelaku pencabulan itu yang hanya sebatas pemindahan tugas. Walaupun hal ini adalah kewenangan pihak sekolah, namun kasus pidananya tak boleh berhenti hanya sampai dengan pindah tempat mengajar dan kata damai.

“Memindahkan guru tersebut ke sekolah lain tanpa proses hukum justru akan menjadi teror di tempat yang baru dan ada kemungkinan memakan korban baru karena tidak adanya tindakan hukum yang membuat jera pelaku,” ujar Luluk.

Luluk menambahkan, citra pelaku yang dianggap baik selama ini tidak bisa menjadi alasan perbuatannya lantas dimaklumi. Sekalipun pelaku akan pensiun sebentar lagi, ia menilai kasus hukumnya harus tetap berjalan.

“Normalisasi kekerasan seksual harus diakhiri! Pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, termasuk sosok yang dihormati atau dianggap baik seprti guru di Kediri ini,” tegasnya.

“Sosoknya yang dianggap baik justru ia gunakan untuk memanipulasi, membohongi, dan mengeksploitasi murid-muridnya secara seksual. Ini tidak dapat dimaaafkan!” sambung Luluk.

DPR berharap setiap sekolah dan seluruh tenaga pendidik mawas terhadap adanya kekerasan seksual yang melibatkan oknum guru sebagai pelakunya. Apalagi, kata Luluk, kasus kekerasan seksual dilakukan di dalam lingkungan sekolah.

“Sesuai dengan temuan Komnas Perempuan, lembaga pendidikan menempati urutan teratas dalam semua kasus kekerasan seksual. Dan kita tidak menginginkan ini terus terjadi. Pihak sekolah harus mengantisipasi dan melakukan langkah tegas,” pungkasnya.