Penyelesaian Gagal Bayar Jiwasraya Melalui PMN Dianggap Berisiko Tinggi
JAKARTA - Usul dari anggota Komisi VI DPR RI, Marwan Ja'far mengenai skema Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk penyelesaian gagal bayar Jiwasraya dianggap berisiko tinggi. Hal itu dinilai rentan dipolitisasi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, hal tersebut adalah opsi yang berisiko tinggi karena dana bailout rawan disalahgunakan.
"Sebisa mungkin tidak melibatkan dana APBN, karena rentan dipolitisasi dan jadi bancakan politisi," ujar Bhima kepada VOI, Senin 20 Januari.
Menurut Bhima, cara penyelesaian gagal bayar Jiwasraya yang paling rasional adalah melalui restrukturisasi bisnis. "Sejauh ini skema restrukturisasi lebih rasional dan risikonya kecil," tutur Bhima.
Sebelumnya Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengungkap, ada skema restrukurisasi bisnis untuk penyelesaian gagal bayar Jiwasraya. Skema tersebut, adalah pembentukan anak usaha Jiwasraya, yakni Jiwasraya Putra.
"Anak usaha ini nantinya akan mengeluarkan produk untuk dijual, kemudian produk tersebut akan didistribusikan oleh empat BUMN," kata Hexana beberapa waktu lalu.
Empat BUMN tersebut, adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Telkomsel (anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk). Empat BUMN ini juga memiliki saham pada Jiwasraya Putra.
"Nah Jiwasraya dari mana dapat penyelesaian untuk bisa membayar? Jiwasraya menguasai lebih kurang 65 persen saham Jiwasraya Putra. Dari 65 persen itu yg didivestasi kepada strategic partner. Uang itu yang akan digunakan untuk membayar kewajiban-kewajiban," ucap Hexana.
Baca juga:
Adapun usulan terkait penyelesaian melalui PMN ini diungkapkan Marwan Ja'far hari ini Senin 20 Januari. Menurut Marwan, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diusulkan melakukan skema PMN dalam menyelesaikan kasus Jiwasraya, karena dinilai Marwan cenderung lebih aman dan cepat untuk menutupi kebutuhan Jiwasraya.
“Hak para nasabah itu yang harus jadi prioritas utama. Tidak ada jalan selain segera menyelamatkan keuangan Jiwasraya melalui skema PMN,” kata Marwan.
Jiwasraya tengah menghadapi dua persoalan, yakni seretnya likuiditas perseroan sampai pada defisit kecukupan modal berdasarkan risiko perusahaan asuransi atau risk base capital (RBC). Saat ini, perseroan dilaporkan membutuhkan dana segar sebesar Rp16,13 triliun demi meningkatkan likuiditas perseroan hingga tahun depan.
Selain itu, Jiwasraya butuh dana segar hingga Rp32,89 triliun demi menaikkan rasio kecukupan modal sesuai standar minimal, yakni 120 persen dari modal minimum berbasis risiko (MMBR). Saat ini, rasio kecukupan modal Jiwasraya minus 805 persen.
Menurut Marwan, skema penyelesaian secara B2B (business to business) seperti yang diupayakan selama ini belum dapat dikatakan menemui titik terang guna menyelamatkan Jiwasraya.
Sedangkan, Jiwasraya sebagai BUMN, menurutnya cukup penting karena berkaitan langsung dengan banyak nasabah yang merupakan masyarakat Indonesia.
Tentang prospek ke depan Jiwasraya yang menurut Kemenkeu belum jelas sehingga tak berani melakukan skema PMN, Marwan optimis setelah pengusutan kasus korupsi dalam direksi, prospek perusahaan asuransi pelat merah itu akan lebih jelas.
Sebab, menurut Marwan, akar persoalan Jiwasraya adalah pada pengelolaannya yang buruk karena korupsi oknum direksinya. Maka, setelah bersih-bersih berhasil dilakukan, prospek Jiwasraya akan membaik karena akan dijalankan oleh orang-orang yang tepat.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatawarta mengatakan pihaknya sudah membahas persoalan Jiwasraya dengan Kementerian BUMN mengenai skema penyelamatan perusahaan asuransi tertua tersebut.
Namun, Isa menyatakan tidak akan menambah modal suatu BUMN, apabila prospeknya belum jelas. Yang pasti, kata Isa penyelamatan Jiwasraya tidak akan dilakukan dengan skema PMN.