Jejak Singapura Kagumi Ulama Indonesia

JAKARTA - Eksistensi Islam di tanah Singapura tak bisa dianggap remeh. Singapura yang kala itu bernama Tumasik telah banyak disinggahi oleh pedagang muslim. Perdagangan rempah jadi muaranya. Kedatangannya berpengaruh besar. Banyak orang Melayu masuk Islam. Seiring waktu Singapura pun begitu terbuka. Empunya negara kerap menyabut baik kedatangan ulama dari pelosok negeri. Indonesia, misalnya. Tapi tak semua ulama diterima. Ajaran yang baik diadopsi, sedangkan yang radikal ditolak. Bahkan dicekal.

Masuknya Islam ke daratan Asia tak terlepas dari euforia perdagangan rempah. Narasi Asia sebagai gerbangnya penjualan rempah-rempah berkualitas jadi daya tarik. Ragam suku bangsa di pelosok dunia kemudian berbondong-bondong datang, termasuk ke Singapura.

Di antara banyaknya pedagang, ada pula pedagang Muslim. Kuat dugaan pedagang Muslim yang datang dari berbagai suku bangsa sezaman dengan masa aktifnya Malaka sebagai surga rempah-rempah dunia. Mereka yang telah berlayar panjang dari kampung halaman banyak singgah ke Singapura. Persinggahan itu mengilhami pertukaran budaya antara etnis Melayu dengan dunia Muslim.

Mohamedan Temple atau Nagore Durgha Shrine, kuil pemujaan Dewi Durga yang dibangun oleh masyarakat Muslim Singapura asal India Selatan pada 1828. (Wikimedia Commons)

Di Singapura, ada pegadang Muslim yang hanya singgah kemudian pergi. Ada pula pedagang Muslim yang datang lalu memilih menetap. Mereka yang memilih tinggal inilah kemudian melebur dengan aktivitas sehari-hari masyarakat Melayu. Mereka pun menikahi warga setempat.

Aktivitas pernikahan itu secara tak langsung menjadi bekal utama Islam tersebar di tanah Singapura. Penyebaran itu ditambah kuat dengan para pedagang Muslim yang menetap mulai membangun madrasah. Pun mereka ikut aktif sebagai guru agama yang menggelar pengajian dan belajar membaca Al Quran. Ajian itu berhasil. Orang Melayu banyak yang tertarik dengan Islam.  

“Pemeluk Islam di Singapura sebagian besar berasal dari etnis Melayu, sisanya dari komunitas India, dan Pakistan serta sejumlah kecil dari Cina, Arab, dan Eurasia. Perilaku kehidupan sehari-hari keluarga Muslim Melayu di Singapura adalah pencerminan yang sangat kuat dari pengaruh guru-guru agama dan imam-imam masjid.”

“Mereka mayoritas bermazhab syafi'iyah dan sebagian kecil Syi'ah.Mereka terbiasa dalam kegiatan ritual keagamaan dan sosial yang kolektif. Kehidupan Muslim di Singapura pun kebanyakan dipengaruhi oleh kehidupan tasawuf dengan berbagai pola tarekatnya,” ungkap Tobroni dalam buku Memperbincangkan pemikiran pendidikan Islam (2018).

Ulama Indonesia Dakwah ke Singapura

Seiring berjalannya waktu, Singapura berkembang menjadi negara yang terbuka. Alias multietnis. Banyak suku bangsa yang berdatangan. Panganut agama Islam paham benar jika mereka bukan mayoritas di Singapura. Sebab, penganut Islam berada di bawah penganut agama Buddha dan Tao.

Status minoritas itu justru jadi kekuatan bagi penganut Islam di tanah Singapura. Kaum Muslim Singapura dianggap aset negara untuk diplomasi. Pembedanya hanyalah kaum Muslim memilih absen dari kegiatan politik. Mereka lebih fokus dengan melanggengkan kegiatan berdakwah agama saja.

Kegiatan dakwah itulah yang membuat kaum Muslim Singapura acap kali mengundang ulama dari berbagai pelosok negeri: Indonesia, Brunei, dan Malaysia. Ulama dari Indonesia pun kerap diminta untuk berdakwah di Singapura sejak tahun 1950-an. Kehadiran ulama kondang asal Betawi, Kiai Haji Abdullah Syafi'i, misalnya.

Masjid Jamae atau Masjid Besar Singapura, yang didirikan oleh komunitas Muslim Tamil pada 1826. (Wikimedia Commons)

Kedatangannya selalu dinanti segenap warga Melayu Muslim di Singapura. Begitu pula dengan ceramahnya. Antusiasme itu yang coba direkam oleh anaknya Tuty Alawiyah (kemudian dikenal sebagai: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan era Soeharto).

Ia penasaran ingin melihat langsung antuasias warga setempat kala ayahnya berdakwah ke Singapura. Apalagi ayahnya telah menjadi ulama langgangan kaum Muslim di Negeri Singa Putih. Tuty pun ingin ikut. Ayahnya memberikan sebuah syarat. Tuty harus mengumpulkan uang untuk tiketnya sendiri. Dan tantangan itu diamini oleh Tuty.

“Sekitar bulan Juli tahun 1959, aku lihat tabunganku sudah mencapai sekitar Rp1900 rupiah. Sudah cukup untuk membeli tiket pesawat Jakarta Singapura bolak-balik yang seharga Rp1900 hingga Rp2000 untuk harga saat itu. Pada saat aku serahkan seluruh uang tabunganku pada Ayah, beliau sempat kaget. Tidak menyangka bahwa aku diam-diam menabung selama hampir enam tahun ini. Masa yang tidak pendek tentunya.”

“Akhirnya Ayah mengajak aku dan adikku Rasyid berdakwah di Singapura dan Malaysia tahun 1959. Aku ingat betul tepat tanggal 17 September 1959 kami berangkat dari Jakarta menuju Singapura dari Bandara Halim Perdanakusuma. Langsung menuju Singapura dan mendarat di Pelabuhan Udara atau Airport Payalebar.  Perjalanan ke Singapura ini adalah juga perjalanan pertama ku keluar negeri,” ungkap Tuty Alawiyah sebagaimana ditulis Beydra Yendi Yarman dalam buku Kak Tuty (2021).

Hotel Raffles, hotel ikonik yang menjadi salah satu tengara Singapura. (Wikimedia Commons)

Tiap ulama yang datang selalu dihormati oleh orang Singapura. Namun, tak semua kaum Muslim di sana mampu menerima mentah-mentah isi ceramah. Apalagi ketika isi ceramah mulai bernarasi negatif dan melebih-lebihkan.

Mereka langsung menyuarakan penolakkan, seperti yang terjadi pada ulama asal Surabaya, Abdullah Segaf bin Mahdi pada pertengahan 1980-an. Ceramahnya dianggap kontroversial. Empunya negara lalu mencekalnya.

Meski begitu, ulama Indonesia yang ceramahnya menyejukkan tak kalah banyak. Bahkan, orang Singapura lebih dominan menyukai ulama Indonesia, dibanding ulama dari Brunei atau Malaysia. Orang Singapura tahun 1970 hingga 1980-an akan sepakat dengan satu nama: Kiai Haji Zainnudin M.Z. Ulama kondang Indonesia itu memiliki pengemar yang besar di Singapura. Pun tiap kaset-kasetnya selalu laris manis di jual di Negeri Singa Putih.

“Tampaknya, Allah mengabulkan permintaan hamba-Nya itu. Rahmat pertama adalah lahirnya putra keempat Zainuddin M.Z. yang dia beri nama Ahmad Syaugi, dan rahmat kedua adalah dia mendapat tawaran rekaman. Dia dikontrak lima album di Virgo Record.”

“Hasil rekamannya kemudian menyebar ke seluruh penjuru Nusantara dan berbagai negara Asia. Kaset itu kemudian diminta oleh Angel Record Singapura. Tujuh album rekaman sudah beredar luas di Asia ketika Mohammad Zaki, putra yang kelimanya lahir,” tertulis dalam buku Jalan Hidup Dai Sejuta Umat (2016).