Ketika Cililitan jadi Tempat Melepas Kepenatan
JAKARTA - Bagaimana kamu melihat Cililitan hari ini? Penuh bangunan, kehadiran PGC, pasar Kramat Jati, dan kusut oleh lalu lintas kendaraan serta manusia? Kesan berbeda akan kamu dapati jika mengajukan pertanyaan ini pada orang-orang yang hidup di zaman kolonial.
Cililitan tempo dulu adalah paket lengkap dari gambaran hidup nan asri dengan pepohonan rindang yang memadati kawasan berlintas sungai. Bahkan, kala itu, Cililitan dikenal sebagai wilayah yang dipenuhi landhuis, yakni tempat peristirahatan semacam villa pada zaman Belanda.
Keasrian Cililitan sebelum Pusat Grosir Cililitan (PGC), Terminal Cililitan atau hotel-hotel yang tumbuh di sekujur wilayah tergambar dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat. Dalam buku itu diungkap bahwa nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Ci Pinang. Sungai yang kini tiada berbekas ditimbun proyek pembangunan Tol Jagorawi yang merupakan tol pertama di Indonesia.
“Kata Ci berasal dari bahasa Sunda, berarti sungai. Lilitan kutu adalah nama semacam perdu yang nama latinnya Pipturus velutinus Wedd --termasuk family Urticeae. Dan kebetulan tanaman ini sudah banyak tumbuh di sepanjang sungai sehingga kemudian daerahnya disebut Cililitan,” tulis Ruchiat.
Jikalau diselidik, pada abad ke-17, Cililitan yang terbentang dari barat Ciliwung sampai Cipinang sebelah timur itu merupakan tanah partikelir Tanjoeng Oost --wilayah bagian timur Jakarta-- kala masih di bawah kepemilikan Pieter Van Den Velde. Ia adalah orang yang memegang tanah di wilayah Cawang --mencapai Cililitan-- pada masa itu.
Menariknya, pada abad 17 menuju 18, Batavia mulai memetik rasa aman dengan mengembangkan wilayah perkebunan sampai ke luar Kota Benteng Batavia --kini dikenal kawasan Kota Tua. Kisah ini ditulis Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia.
Setali dengan itu, landhuis atau rumah-rumah peristirahatan pun mulai dibangun keluar benteng. Tak terkecuali pembangunan salah satu landhuis yang masih bertahan hingga kini, Landhuis Tjililitan. Rumah peristirahatan tersebut dibangun pada tahun 1775 oleh Hendrik Laurens van der Crap, seorang Belanda kaya raya di Batavia.
Kala itu, pembangunan landhuis-landhuis, termasuk Landhuis Tjililitan ditujukan untuk tempat berlibur menikmati udara segar akhir pekan bersama keluarga. Sehingga, Jean mengungkap, “hanya pada abad ke-18 masyarakat kelas atas menghabiskan beberapa minggu sekali di pedesaan dan pensiunan pegawai bertempat tinggal secara permanen di vila-vila pedesaan.”
Menjamurnya landhuis
Ada alasan kenapa kala itu landhuis dibangun di mana-mana. Pertama, karena Banten dan Batavia telah menandatangani perjanjian di tahun 1684. Perjanjian itu berisi perdamaian antar dua wilayah yang menjamin tak akan menyerang satu sama lain. Kedua, karena perubahan lingkungan Batavia yang menjadi lahan pertanian.
Akibatnya, bukan cuma Landhuis Tjililitan yang hadir. Seperti yang diungkap Alwi Shahab via Republika.co.id. Dalam tulisan berjudul Rumah Peristirahatan di Cililitan, Alwi mengungkap banyaknya warga Belanda yang membangun tempat peristirahatan di Cililitan, Kramat Jati, Tanjung Barat, hingga Cijantung untuk menenangkan diri dari sumpeknya pusat Kota Batavia.
Gambaran sumpeknya Batavia dikutip Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java. Ia mengutip pendapat Adam Smith. "Letaknya (Batavia) yang strategis membuat kedua koloni ini menjadi pusat pemerintahan mereka dengan mengabaikan kenyataan bahwa iklim Batavia mungkin yang paling buruk di dunia."
Setelah mengalami gonta-ganti pemilik tanah, kemudian pada tahun 1920-an sebagian tanah Cililitan dijadikan lapangan udara. Waktu pertama kali dibangun, masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Bulak Kapal. Bahkan, orang Belanda sering pula menyebut Lapangan Udara itu sebagai Vliegleg Tjililitan.
Secara perlahanan, setelah kemerdekaan, Lapangan Udara Cililitan diubah menjadi Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma untuk mengenang jasa-jasa Abdul Halim Perdana Kusuma dalam perjuangan membela kemerdekaan.
Cililitan dan segala problemanya
Lalu, bagaimana dengan Cililitan hari ini? G.J Nawi, dalam Bukunya Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi menjelaskan, "Cililitan adalah sebuah kampung. Nama kampung yang kini setingkat kelurahan di bawah Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Kelurahan Cililitan merupakan hasil pemekaran dari Kelurahan Cawang berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1251 tahun 1986.”
Sehingga Cililitan memiliki batas-batas wilayah. Misalnya, Kampung Makassar dan Condet yang ada di batas wilayah sebelah selatan. Kemudian, kawasan Cawang, yang jadi batas wilayah utara. Batas barat yang ditandai Jalan Dewi Sartika, serta Jalan Raya Bogor yang jadi batas wilayah timur.
Fakta menarik lainnya, Cililitan tak cuma dikenal sebagai pusat grosir semata. Posisinya yang bersebelahan dengan Kramat Jati menjadikan keduanya pusat perdagangan sayur-mayur dan buah-buahan yang saling menopang menyuplai kebutuhan warga Jakarta.
Problem Cililitan kini jelas bukan lagi berkutat soal bagaimana kawasan ini menjadi tempat melepas penat --sebagaimana pada abad ke 18-an. Lebih dari itu. Berbagai masalah muncul dari pembangunan demi pembangunan yang tak berwawasan lingkungan. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, rakyat harus menanggung beban akibat kerusakan lingkungan hidup.
Pembangunan menyebabkan berbagai masalah baru, mulai dari polusi udara akibat tergerusnya ruang terbuka hijau, pencemaran daerah aliran sungai (DAS) yang harus menerima beban lantaran alih fungsinya menjadi wilayah komersial dan pusat bisnis. Tak cuma itu. Banjir turut jadi momok yang menghantui warga Jakarta setiap tahun akibat pembangunan yang tak terkendali.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bukannya tak paham. Gubernur Anies Baswedan, dalam masa kampanyenya sempat menyinggung sejarah Cililitan sebagai poros ekonomi tertua di Indonesia. Anies bahkan berjanji mengembalikan kejayaan tersebut dengan membangun ulang nuansa Cililitan di abad ke-17.
Besar harapan, Negara tak “kembali” absen dengan janji-janjinya, serta mulai memikirkan satu demi satu pemecahan akan masalah yang menghadapi Ibu Kota Jakarta. Apalagi, polusi udara semakin parah. Lingkungan kini juga tak lagi mampu mendukung kapasitas kehidupan di Ibu Kota.
Kini, sembari mencari berbagai solusi teknis permasalahan Ibu Kota, rasanya penting bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat agar mampu memahami budaya dan sejarah tempat mereka hidup. Perkara ini penting agar masyarakat terhindar dari krisis identitas.
Cililitan, misalnya. Kisahnya bukan cuma tentang terminal dengan kepadatan polusi atau tentang Bandara Halim Perdana Kusuma dengan kesibukannya di langit. Cililitan lebih dari itu. Ia memiliki sejarah panjang dan perkembangan budaya yang membentuk identitas kawasan dan masyarakatnya.