Cuaca Ekstrem Masih Mengancam, Kita Harus Peduli

JAKARTA - Berita penundaan pemilu 2024, invasi Rusia, pandemi COVID-19, dan ajang MotoGP telah meramaikan informasi seharian kita. Semua itu membuat isu cuaca menjadi bukanlah prioritas.

Namun ketika hendak keluar rumah, hal yang paling sering kita amati adalah kondisi cuaca. Dan untuk mendapatkan informasi prakiraan cuaca, kita tidak bisa selamanya memantau kondisi langit. Untuk mendapatkan informasi prakiraan cuaca lebih baik kita melihat prediksi  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

BMKG adalah lembaga yang menginfokan prakiraan cuaca setiap hari. Walau disebut sebagai prakiran yang sifatnya prediksi, tentu tidak 100 persen akurat. Namun prediksi BMKG tetap penting dan bermanfaat sebagai panduan kita beraktivitas.

Jika BMKG menginfokan tentang peningkatan ekstremitas cuaca berarti bukan informasi biasa. Itu sebagai peringatan agar kita cermat dan waspada dalam mempersiapkan diri, karena terkait potensi bencana hidrometeorologi.

Tanah longsor sebagai akibat cuaca ekstrem.(Foto: BNPB)

Dikutip dari laman BMKG, koordinator di BMKG, Supari, menyebutkan, indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) saat ini minus 0,8. Ini indikator bahwa La Nina, yang dikaitkan dengan curah hujan, masih ada meskipun sudah lemah.

Indeks ENSO akan berangsur netral pada April 2022. Berarti kita harus waspada menghadapi curah hujan hingga sebulan mendatang.  Hujan dengan intensitas di atas 100 milimeter per hari masih berpeluang terjadi hingga Mei 2022. Hujan di bawah 100 mm per hari diperkirakan akan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia setelah kita memasuki Juni 2022.

Untuk Maret 2022, wilayah di Sumatera Selatan, Lampung, sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua diperkirakan masih mengalami curah hujan tinggi.

Yun Kyung-sook dan timnya dari Universitas Nasional Pusan, Korea Selatan, dalam jurnal penelitian yang diterbitkan di Communications Earth and Environment pada Februari 2021 menyebutkan, ke depan skala ENSO akan kian ekstrem. Ini memicu perbedaan cuaca yang lebih ekstrem. Menurut Yun dan tim, curah hujan lebat di daerah tropis biasanya dikaitkan dengan banyak awan tebal dan petir.

”Model iklim kami memprediksi bahwa perbedaan antara curah hujan tropis terkait El Nino dan La Nina akan meningkat selama 80 tahun ke depan, meskipun perbedaan suhu antara El Nino dan La Nia mungkin hanya sedikit berubah sebagai respons terhadap pemanasan global,” tulis mereka.

Banjir di Jakarta. (Foto: ANTARA)

Cuaca ekstrem telah memicu bencana banjir, dan kebakaran hutan dengan frekuensi semakin tinggi dan skala semakin besar.

Jumlah bencana yang terkait cuaca di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), frekuensi puting beliung meningkat hingga 3,5 kali dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2011 puting beliung yang melanda wilayah Indonesia sebanyak 441 kali, pada tahun 2016 menjadi 663 kali dan pada tahun 2021 menjadi 1577 kali.

Cuaca dan suhu ekstrem selain mengancam nyawa, juga mengancam sumber pangan, baik di daratan maupun lautan. Suhu yang semakin tinggi dan hujan yang kian tak menentu telah menurunkan produktivitas tanaman.  Sementara di laut, terumbu karang tropis yang menjadi rumah bagi beragam spesies ikan yang pasti tidak akan bertahan jika suhu lautan terus meningkat.

Berita tentang peningkatan ekstremitas cuaca bukanlah informasi biasa, dalam semangat  terus mengingatkan, agar kita kian cermat dan waspada dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi konsekuensi dari cuaca ekstrem.