Asa Umat Kristen Gaza Rayakan Natal di Betlehem
JAKARTA - Tanggal 25 Desember merupakan waktu yang paling dinanti para umat Kristen. Hari kelahiran Yesus Kristus tersebut pastinya selalu disambut dengan sukacita. Kelahiran sang Juru Selamat juga dijadikan sebagai momen untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal lebih jauh perjalanan yang sudah ditempuh oleh-Nya.
Salah satu kota yang dituju bagi banyak orang menjelang Natal adalah kota kelahiran Yesus, Betlehem. Napak tilas di Gereja Kelahiran yang merupakan tempat Yesus lahir, menjadi momen yang penting ketika dilakukan tepat pada hari lahir-Nya.
Natal di Betlehem tidak hanya disambut oleh umat Kristen, namun umat Islam yang tinggal di sana juga ikut merasakan keseruannya. Pada malam Natal, ada parade di seluruh kota. Parade tersebut biasanya menampilkan bagpipe yang merupakan tradisi yang tersisa dari tentara Inggris. Tradisi bagpipe diwarisi oleh Inggris yang antara 1920 dan 1948 menduduki Betlehem. Dalam parade tersebut, orang-orang juga berpakaian Santa Claus dan membagikan permen. Jalan-jalan dan alun-alun utama dihiasi dengan lampu yang berkelap-kelip.
Perayaan Natal di Betlehem dimulai dari awal Desember dan berlangsung hingga Januari. Bagi para jemaat yang tidak dapat mengunjungi Betlehem pada 24 Desember atau 25 Desember, masih bisa mengikuti perayaan Natal dengan denominasi Kristen lainnya seperti Ortodoks Yunani yang merayakan Natal pada 7 Januari dan beberapa gereja Apostolik Armenia yang merayakan Natal pada 6 Januari. Perayaan Natal akan terus berlangsung hingga Januari sehingga semangat Natal akan dirasa lebih lama.
Betlehem bukan sekadar kota kelahiran Yesus dan menjadi kota tujuan perjalanan spiritual bagi umat Kristen dari berbagai penjuru dunia. Permasalahan yang dialami kota kecil tersebut jauh lebih kompleks. Letak Betlehem yang berada di Tepi Barat, membuat kota tersebut dikuasai Israel yang berkonflik dengan Palestina.
Umat Kristen dari negara lain dapat dengan mudah mendapatkan izin berkunjung ke Betlehem, namun begitu sulit izin kunjungan tersebut didapatkan oleh umat Kristen Gaza. Padahal, bagi umat Kristen Gaza, merupakan hal yang wajib berada di Betlehem saat momen Natal tiba. Mereka bisa berkumpul bersama keluarga yang berada di sana, sekaligus beribadah secara khidmat di kota suci tersebut.
"Umat Kristen datang ke Gereja Kelahiran dari seluruh dunia, sementara umat Kristen di Palestina menderita kemalangan dalam haknya untuk bepergian, beribadah, dan mengunjungi kerabat," kata Haneen Elias al-Jilda, seorang penganut Kristen di Gaza, dikutip dari Irish Times.
Larangan dari Israel
Namun sayang, kegembiraan tersebut belum tentu dirasakan oleh umat Kristen yang tinggal di Jalur Gaza. Ketika liburan Natal semakin dekat, orang-orang Kristen di wilayah tersebut selalu merasa cemas bahwa mereka tidak akan dapat melakukan perjalanan ke beberapa situs suci di Tepi Barat, di mana sanak famili mereka berkumpul.
Pihak berwenang Israel tidak sepenuhnya memberikan izin kepada umat Kristen Gaza. Bahkan pada 2018, hanya 700 orang pemeluk Kristen yang diizinkan masuk area Tepi Barat. Sedangkan total pemeluk agama Kristen di Jalur Gaza sekitar 1.000 orang. Beberapa orang Kristen yang mendapatkan izin perjalanan untuk mengunjungi tempat-tempat suci pada Paskah 2019 tidak pernah kembali ke Gaza. Mereka memilih untuk memulai hidup baru yang lebih baik di tempat lain.
Setelah memberikan pengumuman bahwa otoritas Israel tidak akan memberikan izin kepada umat Kristen di Gaza untuk datang ke Tepi Barat, banyak protes yang dilayangkan oleh pemimpin gereja di Israel. Israel lalu merevisi aturannya tersebut dengan menyatakan pihak Israel hanya akan memberikan izin kepada 100 orang yang berusia di atas 45 tahun. Itu pun yang mendapatkan izin hanya dibolehkan melakukan perjalanan dari Gaza ke Yordania, bukan ke Tepi Barat.
Dari sekitar 1.000 orang Kristen di Gaza, 950 telah mengajukan izin ke Israel agar dapat melakukan perjalanan ke Tepi Barat untuk merayakan Natal. Pemberian izin juga menjadi masalah lain karena Israel tidak transparan memberikan informasi syarat apa yang harus dipenuhi agar dapat merayakan Natal di Tepi Barat.
Setelah bolak-balik memberikan aturan yang berubah-ubah, Israel kembali mengubah pemberian izinnya dan mengatakan akan memberikan izin kepada 500 orang untuk melakukan perjalanan ke Tepi Barat dari Gaza. Namun keputusan tersebut dibatalkan beberapa jam kemudian.
Dikutip dari Times of Israel, para kepala gereja-gereja Katolik di Israel mengaku frustrasi atas aturan tersebut. Pernyataan yang tak pasti menunjukkan bahwa kurang dari satu minggu sebelum Natal, Israel gagal memberikan jawaban yang jelas. Para pemimpin gereja juga menyatakan bahwa kegagalan memberikan izin kunjungan ke Tepi Barat untuk merayakan Natal akan melanggar kebebasan beragama warga Gaza.
Hingga akhirnya pada 22 Desember 2019, atau 3 hari sebelum Natal, umat Kristen di Jalur Gaza diizinkan untuk mengunjungi kota-kota suci di Tepi Barat seperti Betlehem dan Yerusalem. Warga Gaza hanya berharap agar izin untuk mengunjungi Tepi Barat lebih dipermudah. Karena kehidupannya di Gaza sudah cukup sulit, jangan lagi hubungannya dengan Tuhan juga dipersulit.