Di Media Sosial, Perkara COVID-19 dengan Mudahnya Ditarik ke Ranah Politik Praktis
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Selama pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia, media sosial diramaikan dengan berbagai kritik hingga ketidakyakinan pemerintah menghadapi virus tersebut. Beberapa di antaranya mengatikan kritik mereka ke ranah politik dalam negeri. 

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai, riuhnya percakapan di media sosial terjadi karena isu COVID-19 dengan gampangnya ditarik ke dalam praktik politik praktis.

"Memang COVID-19 membuat ruang publik kita menjadi bising. Sentimen politik skalanya naik, bahkan ditarik ke politik praktis, dan membuat media sosial bising," kata Pangi kepada VOI lewat pesan singkat, Kamis, 2 April.

Dia menilai, kegaduhan yang ditimbulkan di media sosial ini diawali karena pemerintah lambat dalam menghentikan penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Jika saja pemerintah siap sejak awal dan tidak terkesan meremehkan, kata Pangi, kegaduhan di media sosial bisa sebenarnya bisa diminimalisir dan tak ada ruang untuk menarik isu ini ke politik praktis.

Tak hanya itu, lambannya penanganan ini, menimbulkan makin meluasnya penyebaran virus tersebut dan bertambahnya korban jiwa. Ini pula yang bikin kemarahan publik kepada pemerintah.

"Kalau pemerintah, sigap dan berani mengambil keputusan, otomatis media sosial enggak bakal bising. Mereka enggak akan nyinyir. Ini kan rangkaian sebab akibat (kausalitas)," tegas dia.

Sebenarnya, kata Pangi, ada cara mudah agar isu COVID-19 ini tak digoreng ke arah politik praktis. Salah satunya adalah pemerintah harus mau dan tak boleh tipis telinga saat mendengar kritikan dari masyarakat terkait penanganan virus corona.

Selain itu, Presiden Joko Widodo ataupun pemerintah pusat harus memiliki pembisik yang benar-benar berorientasi pada kebutuhan rakyat dan mulai mengurangi janji-janji yang tak mungkin bisa terealisasi.

"Pemerintah sudah harus mengurangi janji politik mau memberikan bantuan, misalnya, insentif untuk dokter Rp7 juta sampai Rp15 juta. Ini sebetulnya dikurangi janji seperti ini. Real saja bekerja, misalnya bagaimana tetap dilanjutkan dan konsisten soal pembuatan produksi APD dan masker secara massal," ungkapnya.

Sementara, untuk masyarakat atau para pengguna media sosial, Pangi mengatakan, sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan pemerintah. Semua harus berpikir jernih dan mulai mengambil langkah untuk membantu mereka yang terdampak virus ini. 

"Pengusaha kaya yang selama ini mengambil keuntungan dari tambang dan migas kemana? Sudah menyumbang belum? Yang ngaku saya Indonesia saya Pancasila apakah perilaku atau sikapnya rela berkorban benar benar nyata, mau berkorban untuk bangsa dan negara," kata Pangi.

"Mereka di saat dibutuhkan jangan sampai menghilang, seperti avatar. Jadi pancasila tidak butuh cuap cuap, yang dibutuhkan adalah perilaku dan contoh sikap," tambah dia